BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangsa yang besar
adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Karena sejarah merupakan bagian
ilmu pengetahuan yng memiliki peran dan manfaat yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Sesungguhnyalah apa yang dilakukan dimasa kini seiring
dengan berjalannya waktu akan menjdi perjalanan sejarah. Dan apa yang terjadi
dimasa depan tidak lepas dari apa yang dilakukan sekarang dan masa lampau. Karena
itu dalam Tatwa Hindu dikenal dengan tig dimensi waktu atau ttri samaya: Atita(
masa lalu), Nagata( masa yang akan datang), dan Wartamana(masa sekarang), yang
intinya apa yang dilakukan sekarang seyogyanya bercermin pada masa lalu, guna
mencapai masa depan yang lebih baik. Dengan demikian keberadaan masa lalu sebagai
buah karya para leluhur yang terekam dalam sejarah hendaknya dicermati untuk
bisa berprilaku dengan baik dimasa sekarang, guna diwariskan anak cucu
dikemudian hari.
Manusia tidak
mungkin dapat meninggalkan sejarahnya, Karena sejarah merupakan salah satu hal
yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sifat pentingnya itu bukan hanya
karena sejarah telah mampu mengantar manusia itu menggapai kehidupannya pada
masa sekarang dan memungkinkan mereka dapat menapaki perjalanannya kemasa-masa
mendatang, tetapi lebih dari itu. Sejarah juga mampu menjadikan manusia yang
bersangkutan memiliki cita-cita terkait dengan kualitas kehidupan dirinya yang
ingin dicapai.
Kisah perjalanan
arya Damaralias Sang adityawarman dan arya kenceng diBali merupakan bagian dari
penulisan sejarah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan nilai-nilai moral
dan pengetahuan terutama bagi msyarakat bali khususnya dan Indonesia umumnya.
Buku perjalanan kedua tokoh sejarah di Bali, ini ditulis dengan tujuan untuk
mempersatukan keturunan ataau pratisentana Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali
dan diluar Bali. Disamping itu sekaligus memberi informasikepada masyarakat
luas tentang kedu ksatriya ini dalam memperkembangkan Bali dalam segala aspek
kehidupan masyarakatnya sejak masa lalu sampai dengan masa sekarang,
menyongsong masa depan.
Dalam tradisi
bali, keberadaan suatu keluarga besar keturunan seseorng tokoh terkenl maupun
perjalanan keluarga secara turun temurun, dilandasi paling tidak tiga hal:
Ilikita, Tutur, dan Bukti. Ilikita adalah sumber-sumber tertulis, baik berupa
prasasti dalam bentuk lempengan logam. Tutur merupakn cerit dari mulut kemulut
dari orang ke orng lainnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan
Bukti adalah segala sesuatu sumber kasat mata. Dari ketiga hal ini, secara
sederhna dapat dapat dilakukan pengkajian guna guna mencari kebenaran sejarah.
Sementara itu,
dalam ilmu pengetahuan modern ada beberapa petunjuk dalam melakukan kajian
sejarah guna ditemukannya keberadaan yang paling mendekati dari suatu masa
dengan segala aspek kehidupannya.
Berdasarkan teori
kajian dn perkembangn data dilapangan, maka perjalanan Arya Damar dan Arya
Kenceng di Bali diawali dengan sejarah Bali pada zaman prasejarah dilanjutkan
dengn zaman sejarah. Zaman sejarah dimulai dengn zaman Bali Kuno yakni masa
memasuki zaman kerajaan dalam hal ini dalah pemerintahan Sri Ksari Warmadewa
yang terakhir dengan pemerintahan Dalem Sri Bedahulu atau Sri Asta Asura Ratna
Bhumi Banten.
Dengan jatuhnya
kerajaan Bali dibawah Sri Dalem Bedahulu
yang dikalahkan oleh pasukan Sri Arya Damar bersama Gajah Mada dan para Arya
lainnya, maka Bali memasuki era baru
dibawah naungan kerajaan Majapahit di bawah Adipati Dalem Ketut Sri Kresna
Kepakisan dengan istananya di Samprangan. Para arya yang berjasa dalam melakukan
penyerangan ke Bali di mintta oleh patih Gajah Mada untuk tetap di Bali, dan
ditmpatkan secara menyebar sesuai dengan tugas yang diberikan untuk membantu
pemerintahan Sri Kresna Kepakisan.
Sri Arya Damar
pada saat turut melakukan penyerangan ke Bali sudah mempunyai tiga putra dan
ketiga putranya juga turut serta dalam pertempuran tersebut, yaitu Arya
Delancang yang kemudin ditempatkan di Kapal, Arya Kenceng di Tabanan, dan Arya
Belog/ Tan Wikan di Kaba-Kaba. Selanjutny oleh penguasa MajapahitArya Damar
ditugaskan kembali di Majapahit dan kemudin ke Palembang pada tahun 1347.
Dari uraian
tersebut jelaslah bahwa pendiri kerajaan Tabanan dan kerajaan Badung adalah pratisentana Sri Arya Damar yang
berputra Srii Arya Kenceng yang kini telah menyebar diseluruh Bali.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian yang terdapat dalam latar
belakang tersebut di atas, ada beberapa permasalahan yang sangat penting yang
akan dibahas dalam pembahasan berikutnya. Adapun masalah-masalah yang dianggap
penting tersebut yaitu, antara lain :
1.
bagaimana
perjalanan babad mengwi?
2.
bagaimana perjalanan Arya Kenceng di Bali?
3.
bagaimana sejarah dibangunnya pura dalem sari?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah yang penulis angkat di atas, maka tujuan dari penulisan karya
tulis ini adalah, antara lain :
1. Untuk
mengetahui perjalanan babad Mengwi,
2. Untuk
mengetahui perjalanan Arya Kenceng,
3. Untuk
mengetahui sejarah dibangunnya pura Dalem Sari.
1.4. Manfaat Penulisan
Dari penulisan paper
ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembac, dan diharapkan pembaca dapat
mengetahui perjalanan babd Mengwi, perjalanan Arya Kenceng dan dapat mengetahui
bagaimana sejarah dibangunnya pura dalem sari.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Babad Mengwi Akhir Abad 14-Akhir Abad 17
Pada
tahun 1343 dimana majapahit berhasil menakklukan bali dibawah pimpinan patih
gajah mada dan para arya salah satu yang ikut menggempur bali dari arah selatan
(kuta) yaitu arya kenceng yang kemudian oleh patih gajah mada ditugaskan untuk
menjaga keamanan daerah bali bagian barat dan tinggal disebuah desa bernama
buahan, bersama arya sentong dan arya belog kaba-kaba serta arya delancang di Kapal.
Sekitar tahun 1347 M, empat (4)putera puruhito gajah mada yang tertua tinggal
menjadi adipati di Pasuruan, yang kedua menjadi adipati di Blambangan, yang
ketiga (wanita) menjadi adipati di Sumbawa dan yang keempat menjadi adipati di
Bali (Sri Kresna Kepakisan) sri kresna kepakisan beristrikan seorang brahmani
dari Grya Ketepengreges Pasuruan Jatim yang kedua diperistri oleh Betara Arya Kenceng
dan yang ketiga diperistri oleh Arya Sentong. Arya Kenceng dengan istri Brahmani
tersebut mempunyai dua putera :1 GustiRraka atau Dewa Raka atau bergelar Sri
Megada Prabu, 2 Gusti Rai atau Dewa Rai atau bergelar Sri Megada Nata dari istri
kedua yang berasal dari desa Tegeh, Betara Arya Kenceng juga berputera dua
orang :
1
Tyai tegeh Kori,
2
istri Tegeh (kawin dengan Pangeran Asak
di Kapal).
Ketika
kerajaan badung dilanda suatu masalah sehingga raja badung (Gusti Pinatih)
meninggalkan badung menuju desa Guliang Klungklung, maka bendesa Mas Badung datang
menghadap ke pada betara Arya Kenceng supaya menganugerahkan seorang puteranya untuk
di nobatkan sebagai Raja Badung, maka dari itu Arya Kenceng menganugerahkan
putera yang ketiga yaitu Kyai Tegeh Kori untuk dinobatkan sebagai raja badung
dan bila berputera nanti semoga ada yang kembali ke wilayah Mengwi maka Kyai
Tegeh Kori akhirnya di boyong ke Badung oleh bendesa Mas dan kemudian bendesa Mas
mempersembahkan puterinya untuk diperistri oleh Kyai Tegeh Kori sebagai pusat
kerajaan ada di wilayah Tegal sebelah selatan kuburan badung. Kini
diceritakan kembali Kyai Tegeh Kori dengan istri bendesa Mas berputera dua
orang yaitu :
1
Kyai Gede Tegeh dan
2
Kyai Made Tegeh
Selanjutnya
Kyai Gede Tegeh sebagai putera mahkota tetap tinggal di Badung namun Kyai Made
Tegeh dengan keris I kala tadah pergi kearah utara sampai di Mengwi membuat
puri dan menjadi raja Mengwi sebagai mana pesan kakeknya kepada Kyai Tegeh Kori
dengan pebencangah tri mandala maka sebagai seorang raja yang menganut dharma agama
maka beliau juga membuat Tri Kayangan namun yang pertama dibuat adalah pura Dalem
atau oleh beliau disebut pura dalem Brerong, barulah kemudian beliau membangun
pura desa puseh, pura Penataran Dalem serta Ulun Suwi di mana letak pura Desa
yang pertama di sebelah barat batas desa Beringkit dan Mengwi. Kyai Made Tegeh
yang kemudian bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I yang berkuasa dari sebelah
utara atau barat Beringkit sampai di Kuwum Sembung dengan wilayah yang cukup
luas maka banyak rakyat daerah lain datang untuk mengabdi.
Sekitar
tahun 1408 M Kyai Made Tegeh sebagai raja Mengwi bersama kaki Twa membangun
sebuah pura dipesisir tanah Let di atas sebidang batu pipih di bawah pohon
kendung sebagai penyiwian jagat (pura subak) sebagai tempat bersemayam Hyang
Sedana Tra kemudian pura itu diberi nama pura Luhur Pekendungan pada masa
pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (Sri Semara Kepakisan ) yang merupakan
pendiri puri Gel-Gel dan masa pemerintahan Kyai Langwang yang baru memindahkan
pusat kerajaan ke Tabanan dari Buahan. Sekitar tahun 1478 Danghyang Nirartha
datang ke Bali pada masa pemerintahan Dalem Waturengong berkuasa di Gel-Gel
(Majapahit mengalami keruntuhan)Danghyang Nirartha sempat sembahyang ke Pura
Luhur Pekendungan dan setelah usai beliau pergi kearah timur laut disana beliau
menancapkan sebuah tanda (Sawen) lalu pergi ke wilayah Mengwi, karena merasa
kehausan danghyang nirartha meminta air minum namun rakyat memberikan air
dengan mempergunakan alat sehari hari (cedok), maka beliau mengatakan etika
rakyat itu tani dan beliau bertanya apakah nama wilayah ini? rakyat itu
menjawab Mengwi maka Danghyang Nirartha bertanya lagi apakah ada raja atau
ratu, maka rakyat itu menjawab ada disebelah utara maka akhirnya Danghyang Nirartha
bersabda mulai saat itu pusat Mengwi di beri nama mengwitani dengan batas di
sebelah utara puri (Bantas) dan sebagian Mengwi utara dberi nama Mengwi Gede.
maka beliau melanjutkan perjalanan ke utara setelah dijemput oleh utusan raja
Mengwi dimana beliau akhirnya mendapatkan penghormatan yang cukup maka beliau
akhirnya menyarankan raja Mengwi untuk membuat sebuah pura disebelah timur laut
Pura Luhur Pekendungan yang telah diberi tanda (sawen) maka kemudian setelah
selesai raja Mengwi memberikan nama pura tersebut pura Dangin Sawen
Akhirnya
beliau melanjutkan perjalanan ke Mengwi bagian utara. Karena rakyat amat
berbakti maka dibangunlah dua buah pura bernama Pura Taman Sari dan Pura Sakti
serta memberikan anugrah kepada rakyat atas permohonannya untuk menjadi brahmana
dengan satu sisia (rakyat) juga menetapkan daerah tersebut bernama Mengwi Gede.
Namun Tri Kahyangan tetap berada diselatan namun hal tersebut baru terlaksana
atau terealisasi ketika I Gusti Agung Putu mulai menjadi raja di Mengwi pada
tahun 1700 M
Ketika
Danghyang Nirartha melanjutkan perjalanan ke timur, rakyat disana sedang
melakukan pesta dimana mereka membuat babi guling begitu mendengar Danghyang Nirartha
datang maka spontan rakyat tersebut menyembunyikan babi guling tersebut dibawah
atap angkul-angkul seraya rakyat tersebut mengintip dari balik sebelah daun
pintu (pintu kuadi) maka Danghyang Nirartha
sedikit kesal, lalu mengutuk babi guling itu menjadi mentimun (timun guling)
maka mulai saat itu daerah/desa tersebut diberi nama Gulingan dan bersabda
rakyat didaerah itu tidak boleh menggunakan pintu berdaun dua.
Masa akhir kekuasaan raja mengwi I datanglah seorang utusan Dalem Waturenggong yang bermimpi melihat tanah Garu ( harum ) di wilayah Mengwi , maka diutuslah seorang pejabat dari Arya Petandakan untuk menelusuri keberadaan tanah tersebut, namun beliau mengingatkan supaya Arya Petandakan setelah sampai di kerajaan Mengwi mohon ijin terlebih dahulu ke pada raja kerajaan Mengwi yaitu Kyai Made Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I. Setelah tanah harum itu didapat Arya Petandakan bukannya kembali ke Gelgel untuk melaporkan kepada Dalem Waturenggong justru tanah tersebut ditempati sendiri oleh Arya Petandakan. Maka Dalem Waturenggong setelah sekian lama menunggu akhirnya beliau bersama pengawalnya berangkat menuju kerajaan Mengwi dan langsung menuju Puri Mengwi bertemu dengan Kyai Agung Anglurah Mengwi I. Setelah diadakan perjamuan serta mendapat penjelasan yang cukup dari Raja Mengwi maka Dalem Waturewnggong berniat menemui Arya Petandakan.
Masa akhir kekuasaan raja mengwi I datanglah seorang utusan Dalem Waturenggong yang bermimpi melihat tanah Garu ( harum ) di wilayah Mengwi , maka diutuslah seorang pejabat dari Arya Petandakan untuk menelusuri keberadaan tanah tersebut, namun beliau mengingatkan supaya Arya Petandakan setelah sampai di kerajaan Mengwi mohon ijin terlebih dahulu ke pada raja kerajaan Mengwi yaitu Kyai Made Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I. Setelah tanah harum itu didapat Arya Petandakan bukannya kembali ke Gelgel untuk melaporkan kepada Dalem Waturenggong justru tanah tersebut ditempati sendiri oleh Arya Petandakan. Maka Dalem Waturenggong setelah sekian lama menunggu akhirnya beliau bersama pengawalnya berangkat menuju kerajaan Mengwi dan langsung menuju Puri Mengwi bertemu dengan Kyai Agung Anglurah Mengwi I. Setelah diadakan perjamuan serta mendapat penjelasan yang cukup dari Raja Mengwi maka Dalem Waturewnggong berniat menemui Arya Petandakan.
Namun
ditengah jalan beliau berhenti karena beliau merasa tidak pantas lagi menempati
tanah tersebut. Maka dari tempat itulah beliau bersabda bahwa Arya Petandakan
tidak pantas dan tidak akan bisa menjadi raja untuk selanjutnya. Maka
belakangan di tempat beliau (Dalem Waturenggong) bersabda itulah dibangun
sebuah pura bernama Pura Dalem Waturenggong/pura batur oleh rakyat Mengwi pada
masa pemerintahan Kyai Gede Tegal ( Kyai Agung Anglurah Mengwi II ) Kyai Agung
Anglurah Mengwi II setelah ditinggal wafat oleh ayahnya beliau juga membangun
sebuah pura di sebelah tenggara puri untuk mengenang kebesaran serta kemuliaan
ayahnya sebagai pendiri kerajaan Mengwi yang kemudian diberi nama Pura Pelet (
Ida Ratu Gede atau Ida Ratu Ngurah Agung ).
Pada
saat terjadi pembrontakan Kyai Batan Jeruk terhadap Dalem Bekung maka kyai Gede
Tegal (Kyai Agung Anglurah Mengwi II) bersama raja badung III (tegeh kori)
serta raja Tabanan (Cokorde Winalwan) bersama sama menumpas atau mengusir kyai
Batan Jeruk dari Gel-Gel dan Kyai Batan Jeruk melarikan diri kearah timur
dengan menyeberangi Tukad Unda, maka atas jasa tersebut semua pemimpin pasukan
yang membantu Dalem Bekung baik Tabanan, Badung, maupun Mengwi mendapat hadiah
berupa keris, namun raja mengwi mohon diberikan sesuatu yang oleh raja Mengwi
dilihat menyala didalam Gedong penyimpanan pusaka maka oleh dalem karena
senjata itu belum sempurna dan berbentuk tombak sehingga diberi nama Ki baru
pandak. Kyai Ngurah Pemayun yang bergelar (kyai agung anglurah mengwi III) turut
menggempur kekuasaan Ngurah Telabah di Kuta bersama raja Badung IV (Tegeh Kori)
ketika Ngurah Telabah mendurhaka dengan melarikan diri serta meninggalkan prajurit
ketika berhadapan dengan Kebo Mundar (Lombok), maka dari itu wilayah Kuta
merupakan wilayah Mengwi juga, dari Badung yang gugur pada saat itu adalah Kyai
Putu Tegeh yang merupakan paman dari Kyai Macan Gading dan Jambe Merik serta Gelogor.
Kyai
Ngurah Pemayun yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi III menerima wilayah Jimbaran
dan kuta ketika puteri raja Badung IV yang bernama Kyai LuhTtegeh kawin dengan
Kyai Ngurah Agung, Kyai Ngurah Pemayun (Kyai Agung Anglurah Mengwi III) melamar
putri raja Badung ke IV yang bernama Kyai Luh Tegeh. Dimana Kyai Luh Tegeh
sebenarnya telah bertunangan dengan Kyai Jambe Merik namun raja Mengwi tetap
melamar juga kepada raja Badung IV (tegeh kori). Kyai Jambe Merik adalah putera
dari Kyai Jambe Pole namun lamaran raja Mengwi akhirnya diterima juga oleh raja
Badung, karena beliau berdua adalah mindon oleh raja Badung ke Mengwi dianggap
lebih pantas dan lebih agung maka diperintahkan juga untuk mencari hari baik
namun raja Mengwi tidak membuang kesempatan segera memboyong Kyai Luh Tegeh
untuk dipertemukan dengan puteranya sehingga kejadian ini mebangkitkan
kemarahan Kyai Jambe Merik dan Kyai Macan Gading serta ayahnya yaitu Kyai Jambe
Pole maka digempurlah kekuasaan Tegeh Kori di Badung. Untuk itu raja Badung IV
dari dinasti Tegeh Kori jatuh dan beralih ke utara untuk tinggal sementara di Kapal.
Karena permintaan bantuan kepada raja mengwi tidak dihiraukan dengan utusan
Kyai Ketut timbul (kesah ke Denbukit) maka dari itu raja Badung IV bersama
putera tertua beralih ke Tegal Tamu.
Beliau juga pernah melakukan perang tanding dengan raja Denbukit Panji sakti ketika anaknya dilamar atau dipinang yang bernama Gusti Ayu Rai.
Beliau juga pernah melakukan perang tanding dengan raja Denbukit Panji sakti ketika anaknya dilamar atau dipinang yang bernama Gusti Ayu Rai.
Setelah
runtuhnya Tegeh Kori akhirnya Kyai Jambe Merik membangun puri di sebelah timur
Tukad Badung bernama Peken Pasah, Kyai Macan Gading membangun kuri Pemecutan Di
mana Panji Sakti ketika hendak memperluas wilayah kekuasaannya ke Badung dimana
dipuri pemecutan yang berkuasa saat itu adalah Kyai Macan Gading dengan seorang
puteranya yang masih muda namun perkasa, ketika peperangan berlangsung pasukan
Panji Sakti dapat dipukul mundur oleh putera perkasa tersebut kemudian putera
tersebut bergelar Betara Sakti Pemecutan .
Ketika
Panji Sakti mundur dari daerah Badung maka Panji Sakti dapat mampir kepuri Mengwi
serta dijamu dengan baik oleh raja Mengwi dsitulah Panji Sakti melihat puteri
raja Mengwi yang bernama Gusti Ayu Rai seketika itu pula Panji Sakti mohon
pamit kepada raja Mengwi untuk kembali ke Denbukit Setelah sampai di Denbukit
maka disitulah Panji Sakti mengutus patih kerajaan untuk segera meminang putri
raja Mengwi yang bernama I Gustu Ayu Rai, namun sayang pinangan tersebut
dianggap penghinaan oleh raja Mengwi, di situlah akhirnya raja Mengwi kembali
mengutus patih tersebut untuk supaya Panji Sakti datang sendiri dan berperang
(Perang Tanding) dengan raja Mengwi, dan jika bisa mengalahkan raja Mengwi
barulah Panji Sakti bisa memboyong Gusti Ayu Rai untuk dijadikan permaisuri.
Setelah selesai patih melaporkan maka Panji Sakti cepat naik pitam dikerahkannya pasukan untuk segera berangkat ke kerajaan Mengwi. Baru sampai diperbatasan kerajaan Mengwi yaitu desa Perean dan Kuwum pasukan dihentikan untuk istirahat disitu pula seorang pembesar diutus untuk menghadap raja Mengwi untuk segera menyerahkan Gusti Ayu Rai, Namun raja Mengwi kembali mengutusnya supaya Panji Sakti lekas kembali ke Denbukit jika takut perang tanding melawan raja Mengwi karena yang dikehendaki oleh raja Mengwi bukanlah pertempura antara prajurit dan rakyat maka Panji Sakti akhirnya melanjutkan perjalanan dan sesampainya di Mengwi Panji Sakti menyatakan siap akan perang tanding, namun raja Mengwi malah menyuruh Panji Sakti untuk beristirahat dengan baik supaya raja Mengwi tidak dianggap menyerang lawan dalam posisi lemah karena perang tanding akan dilaksanakan keesokan harinya. Di sana pula raja Mengwi menyuruh prajurit beliau untuk menjamu prajurit Denbukit serta beliau meyakinkan kedua belah pihat bahwa tidak ada perang antar prajurit atau rakyat. Untuk lebih meyakinkan prajurit Mengwi ikut bergabung bersama prajurit Denbukit. Setelah hari dan saat yang dinanti tiba baik raja Mengwi atau Panji Sakti bersiap-siap untuk perang tanding, setelah keduanya menyatakan siap, maka perang tandingpun dimulai. Beliau sama-sama tangkas serta cakap dalam taktik perang dan menggunakan senjata, setelah seharian penuh beliau berdua menguras keringat maka perang tandingpun dihentikan oleh raja Mengwi, maka raja Mengwi bersabda bahwa dalam perang tanding itu tidak ada yang kalah maupun yang menang disitulah Panji Sakti bersabda bahwa beliau juga mengakui keberadaan serta kesaktian raja Mengwi, oleh karena Panji Sakti merasa tidak mampu mengalahkan Raja Mengwi maka sore itu juga beliau mohon diri untuk kembali ke Denbukit namun hal itu dihalangi oleh raja Mengwi serta beliau bersabda kembali bahwa tujuan ayahmu ini perang tanding hanya supaya anakku Panji Sakti mengetahui serta tidak meremehkan keberadaan ayahmu sebagai raja Mengwi maka perang tanding harus dilaksanakan, jika anakku Panji Sakti kembali ke Denbukit sebaiknya lanjutkan perjalanan esok hari serta ajaklah adikmu Gusti Ayu Rai ikut serta ke Denbukit dan jadikan permaisuri.
Sekitar tahun 1639 sampai 1641 Sri Dimade memerintahkan ngurah Tabanan (Kyai Wayan Pemadekan, Kyai Made Pemadekan dan Ngurah Tamu Pacung) untuk menyerang Blambangan guna mengusir prajurit Mataram yang telah menduduki wilayah itu. Namun Kyai Wayan Pemadekan dapat ditawan dan dijadikan menantu oleh raja Mataram sehinggga berputra Raden Tumenggung. Setelah Kyai Made Pemadekan kembali dan tidak berapa lama meninggal di Tabanan maka ayahnya yang bergelar Cokerde Winawan menggantikan untuk sementara waktu mengingat cucu-cucunya masih kecil saat itu beliau bergelar Cokorde Mekules. Kyai Ngurah Agung (Kyai Agung Anglurah Mengwi IV) yang beristrikan Kyai Luh Tegeh dari Badung atas perintah Cokorde Mekules Tabanan supaya membantu Ngurah Ayunan dalam menghadapi kakaknya Ngurah Tamu (Pacung). Setelah berhasil mengalahkan Kyai Ngurah Tamu maka semua kekayaan diambil alih oleh Kyai Ngurah Ayunan dan semua prajurit (wadua) diambil alih oleh raja Mengwi (Kyai Ngurah Pupuan)
Setelah selesai patih melaporkan maka Panji Sakti cepat naik pitam dikerahkannya pasukan untuk segera berangkat ke kerajaan Mengwi. Baru sampai diperbatasan kerajaan Mengwi yaitu desa Perean dan Kuwum pasukan dihentikan untuk istirahat disitu pula seorang pembesar diutus untuk menghadap raja Mengwi untuk segera menyerahkan Gusti Ayu Rai, Namun raja Mengwi kembali mengutusnya supaya Panji Sakti lekas kembali ke Denbukit jika takut perang tanding melawan raja Mengwi karena yang dikehendaki oleh raja Mengwi bukanlah pertempura antara prajurit dan rakyat maka Panji Sakti akhirnya melanjutkan perjalanan dan sesampainya di Mengwi Panji Sakti menyatakan siap akan perang tanding, namun raja Mengwi malah menyuruh Panji Sakti untuk beristirahat dengan baik supaya raja Mengwi tidak dianggap menyerang lawan dalam posisi lemah karena perang tanding akan dilaksanakan keesokan harinya. Di sana pula raja Mengwi menyuruh prajurit beliau untuk menjamu prajurit Denbukit serta beliau meyakinkan kedua belah pihat bahwa tidak ada perang antar prajurit atau rakyat. Untuk lebih meyakinkan prajurit Mengwi ikut bergabung bersama prajurit Denbukit. Setelah hari dan saat yang dinanti tiba baik raja Mengwi atau Panji Sakti bersiap-siap untuk perang tanding, setelah keduanya menyatakan siap, maka perang tandingpun dimulai. Beliau sama-sama tangkas serta cakap dalam taktik perang dan menggunakan senjata, setelah seharian penuh beliau berdua menguras keringat maka perang tandingpun dihentikan oleh raja Mengwi, maka raja Mengwi bersabda bahwa dalam perang tanding itu tidak ada yang kalah maupun yang menang disitulah Panji Sakti bersabda bahwa beliau juga mengakui keberadaan serta kesaktian raja Mengwi, oleh karena Panji Sakti merasa tidak mampu mengalahkan Raja Mengwi maka sore itu juga beliau mohon diri untuk kembali ke Denbukit namun hal itu dihalangi oleh raja Mengwi serta beliau bersabda kembali bahwa tujuan ayahmu ini perang tanding hanya supaya anakku Panji Sakti mengetahui serta tidak meremehkan keberadaan ayahmu sebagai raja Mengwi maka perang tanding harus dilaksanakan, jika anakku Panji Sakti kembali ke Denbukit sebaiknya lanjutkan perjalanan esok hari serta ajaklah adikmu Gusti Ayu Rai ikut serta ke Denbukit dan jadikan permaisuri.
Sekitar tahun 1639 sampai 1641 Sri Dimade memerintahkan ngurah Tabanan (Kyai Wayan Pemadekan, Kyai Made Pemadekan dan Ngurah Tamu Pacung) untuk menyerang Blambangan guna mengusir prajurit Mataram yang telah menduduki wilayah itu. Namun Kyai Wayan Pemadekan dapat ditawan dan dijadikan menantu oleh raja Mataram sehinggga berputra Raden Tumenggung. Setelah Kyai Made Pemadekan kembali dan tidak berapa lama meninggal di Tabanan maka ayahnya yang bergelar Cokerde Winawan menggantikan untuk sementara waktu mengingat cucu-cucunya masih kecil saat itu beliau bergelar Cokorde Mekules. Kyai Ngurah Agung (Kyai Agung Anglurah Mengwi IV) yang beristrikan Kyai Luh Tegeh dari Badung atas perintah Cokorde Mekules Tabanan supaya membantu Ngurah Ayunan dalam menghadapi kakaknya Ngurah Tamu (Pacung). Setelah berhasil mengalahkan Kyai Ngurah Tamu maka semua kekayaan diambil alih oleh Kyai Ngurah Ayunan dan semua prajurit (wadua) diambil alih oleh raja Mengwi (Kyai Ngurah Pupuan)
Kyai
Ngurah Agung yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi IV atas perintah Cokorde
Mekules beliau membantu Ngurah Ayunan untuk menyerang kakaknya yaitu kerajaan
Pacung (Kyai Ngurah Tamu)
Yang berada disebelah selatan ayunan dan sebelah utara kapal, setelah kyai ngurah ayunan menang beliau bergelar Kyai Ngurah Pacung Sakti dan pindah dari Ayunan ke Perean .
Kyai Ngurah Tegeh (Kyai Agung Anglurah Mengwi V) dan Gusti Ayu Bongan yang beribukan Kyai Luh Tegeh putera raja badung ke IV, yang mana kemudian I Gusti Ayu Bongan kawin lagi dengan putera Kyai Macan Gading yang bernama Betara Sakti Pemecutan maka dari itu wilayah Kuta dan Jimbaran kembali diserahkan kepada Betara Sakti Pemecutan. Kyai Agung Anglurah Mengwi V pernah menumpas pembrontakan diarah barat daya dari Pandak Gede ketika itu beliau meninggalkan sebagian prajuritnya ditimur hanya beliau beserta sebagian prajuritnya menyerang kearah barat namun begitu berhasil menumpas gerakan yang ada dibarat serta merta begitu melihat ke timur maka prajurit beliau (Mengwi) juga dapat ditaklukkan oleh musuh maka dari itu beliau memutuskan dan bersabda kepada prajurit pengiring supaya mengikuti beliau berjalan kearah musuh dengan memangul pusaka Ki Baru Pandak dengan catatan jika prajurit lawan tidak mendahului maka prajurit Mengwi juga tidak boleh menyerang. Mana kala beliau berjalan ditengah-tengah musuh yang telah memberikan jalan karena prajurit musuh melihat api besar sebesar kurungan ayam diatas pusaka yang dipanggul oleh raja Mengwi.
Kyai Ngurah Tegeh juga mendirikan pura bernama Pura Dalem Sari disebelah selatan puri , ceritanya dilanjukkan dibelakang
Yang berada disebelah selatan ayunan dan sebelah utara kapal, setelah kyai ngurah ayunan menang beliau bergelar Kyai Ngurah Pacung Sakti dan pindah dari Ayunan ke Perean .
Kyai Ngurah Tegeh (Kyai Agung Anglurah Mengwi V) dan Gusti Ayu Bongan yang beribukan Kyai Luh Tegeh putera raja badung ke IV, yang mana kemudian I Gusti Ayu Bongan kawin lagi dengan putera Kyai Macan Gading yang bernama Betara Sakti Pemecutan maka dari itu wilayah Kuta dan Jimbaran kembali diserahkan kepada Betara Sakti Pemecutan. Kyai Agung Anglurah Mengwi V pernah menumpas pembrontakan diarah barat daya dari Pandak Gede ketika itu beliau meninggalkan sebagian prajuritnya ditimur hanya beliau beserta sebagian prajuritnya menyerang kearah barat namun begitu berhasil menumpas gerakan yang ada dibarat serta merta begitu melihat ke timur maka prajurit beliau (Mengwi) juga dapat ditaklukkan oleh musuh maka dari itu beliau memutuskan dan bersabda kepada prajurit pengiring supaya mengikuti beliau berjalan kearah musuh dengan memangul pusaka Ki Baru Pandak dengan catatan jika prajurit lawan tidak mendahului maka prajurit Mengwi juga tidak boleh menyerang. Mana kala beliau berjalan ditengah-tengah musuh yang telah memberikan jalan karena prajurit musuh melihat api besar sebesar kurungan ayam diatas pusaka yang dipanggul oleh raja Mengwi.
Kyai Ngurah Tegeh juga mendirikan pura bernama Pura Dalem Sari disebelah selatan puri , ceritanya dilanjukkan dibelakang
Kyai
Ngurah Gede Agung yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI bersama Ngurah Cemenggon
Beringkit beserta Ngurah Ngui (Petandakan) menyerahkan kerajaan serta mandat
kekuasaan kepada Gusti Agung Putu di Belayu sebagai bukti setia Kyai Agung
Anglurah Mengwi VI menyerahkan sebuah senjata tombak sakti bernama Ki Baru
Pandak, maka pada saat itulah putera Betara Sakti Pemecutan datang dan berteduh
dibawah pohon beringin didepan pura desa beringkit dengan menyandarkan senjata
pusaka sehingga menyebabkan beringin itu mengeluarkan asap maka oleh Gusti
Beringkit beliau diantar kepuri Agung Pupuan Mengwi namun karena Kyai Agung
Anglurah Mengwi IV baru saja menyerahkan kekuasaan kepada I Gusti Agung Putu di
Belayu atas kerajaan Mengwi maka dari itu putera tersebut yang bernama Kyai
Lanang Pupuan (Kyai Pupuan) dajak tinggal bersama di puri Agung Pupuan Saren Kelod
oleh pamannya Kyai Ngurah Gede Agung dan salah seorang pengiring/abdi beliau dari
keluarga penataran (bandem) diberikan tempat disebelah utara puri. Ketika I
Gusti Agung Putu pindah dari Belayu ke Bekak dan mengalahkan Pasek Badak maka
keluarga penataran tersebut dihaturkan untuk dijadikan bala putra (bata batu).
Diceritakan kembali setelah Kyai Nyoman Pemedilan atau Kyai Macan Gading Wafat di Watuklotok dalam pertempuran menumpas pembrontakan Kyai Agung Dimade pada masa pemerintahan Dalem Dimade maka Kyai Agung Dimade setelah merasa terdesak oleh pasukan Panji Sakti dan Dewa Jambe maka mundur kearah barat dan sampai di Jimbaran yang merupakan wilayah kerajaan badung (pemecutan) sebagai tatadan I Gusti Ayu Bongan puteri raja Mengwi IV maka atas perintah Cokorde Sakti Pemecutan kepada bawahannya supaya mengusir Kyai Agung Dimade dari Jimbaran maka Kyai Agung Dimade beralih ke Kapal bersama putera yang ke II bernama Kyai Agung Made Anom karena memang raja Kapal adalah saudaranya dan I gusti Agung Putu yang merupakan putera pertama dari Kyai Agung Dimade tinggal di Kuramas. Belakangan setelah Panji Sakti berputra Panji Wayahan dan memegang kekuasaan di Denbukit maka di kerajaan Mengwi terjadi pelimpahan kekuasaan dimana I Gusti Agung Putu cucu dari I Gusti Agung Dimade (I Gusti Agung Badeng) Setelah berhasil dalam semedi di Puncak Mangu maka beliau bersama 40 rakyat ( pengiring ) dari Marga berhasil merabas hutan yang angker dan beliau membangun puri, darisana kemudian daerah itu di sebut Belayu (Bala Ayu). Nah disitulah Raja Mengwi yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI menyerahkan kerajaan serta mandat kekuasaan atas kerajaan Mengwi yang terbentang dari sebelah barat dan utara beringkit sampai sebelah selatan Perean kepada I Gusti Agung Putu sebagai bukti setia dan tunduk maka Kyai Agung Anglurah Mengwi VI yang kemudian disebut Ngurah Pupuan menyerahkan sebuah senjata tombak sakti bernama Ki Baru Pandak. Belakangan beliau berpindah dari Belayu ke Bekak pada saat peresmian puri tersebut maka di situlah Pasek Badak diundang dan dikalahkan, lagi-lagi atas nasehat orang Cina maka puri di pindah lagi kearah tenggara serta tetamanan beliau yang bernama Taman Ganter diserahkan kepada rakyat dan orang Cina tersebut membangun taman baru di antaran dua sungai dengan cara bembendung di sebelah selatan maka kelihatan taman tersebut berada di tengah danau yang kemudian bernama Taman Ayun. Setelah kerajaan dirasa aman kehidupan rakyat makin baik dan tentram karena I Gusti Agung Putu mampu memimpin rakyatnya serta berwibawa. Ketentraman sedikit terusik oleh ulah Panji Wayahan yang ingin memperluas wilayah kerajaan Denbukit seperti cita-cita ayahnya kearah selatan. Di situlah I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorde Sakti Mengwi menjadi murka dan segera mengerahkan prajurit untuk menggempur kekuasaan Panji Wayahan di Denbukit, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat, yang mana akhirnya terjadi kekalahan di pihak Panji Wayahan. Disitulah akhirnya Panji Wayahan supaya Denbukit tidak dikuasai oleh Mengwi maka wilayah Blambangan yang dulu didapat oleh ayahnya kini diserahkan kepada raja Mengwi. Pada suatu hari raja Mengwi hendak melihat-lihat daerah jajahannya yaitu Blambangan, pada saat beliau hendak berangkat maka beliau menitipkan kerajaan Mengwi kepada raja Tabanan yang sekaligus paman dari hubungan nenek yaitu Gusti Alit Dauh di mana dulu Gusti Alit Dauh pernah dibantu oleh Kyai Agung Dimade (Kyai Agung Badeng) ketika hendak mengalahkan kyai malkangin dengan bantuan kyai agung dimade (Kyai Agung Badeng) Kapal, yang kemudian bergelar Sri Megada Sakti. Setelah Cokorde Sakti Mengwi datang dari Blambangan maka beliau bergelar Cokorde Sakti Blambangan.
Kini diceritakan kembali I Gusti Agung Putu setelah menerima senjata Tombak Sakti Ki Baru Pandak, lalu beliau mengutus kembali Ngurah Pupuan untuk mengempur kekuasaan Ngurah Batu Tumpeng (Kekeran) karena beliau teringat akan masa lalu dimana beliau pernah dikalahkan oleh Ngurah Batu Tumpeng atas nama raja Mengwi. Setelah Ngurah Batu Tumpeng kalah dan terbunuh ada sebagian keluarganya yang lari kearah barat.
Diceritakan kembali setelah Kyai Nyoman Pemedilan atau Kyai Macan Gading Wafat di Watuklotok dalam pertempuran menumpas pembrontakan Kyai Agung Dimade pada masa pemerintahan Dalem Dimade maka Kyai Agung Dimade setelah merasa terdesak oleh pasukan Panji Sakti dan Dewa Jambe maka mundur kearah barat dan sampai di Jimbaran yang merupakan wilayah kerajaan badung (pemecutan) sebagai tatadan I Gusti Ayu Bongan puteri raja Mengwi IV maka atas perintah Cokorde Sakti Pemecutan kepada bawahannya supaya mengusir Kyai Agung Dimade dari Jimbaran maka Kyai Agung Dimade beralih ke Kapal bersama putera yang ke II bernama Kyai Agung Made Anom karena memang raja Kapal adalah saudaranya dan I gusti Agung Putu yang merupakan putera pertama dari Kyai Agung Dimade tinggal di Kuramas. Belakangan setelah Panji Sakti berputra Panji Wayahan dan memegang kekuasaan di Denbukit maka di kerajaan Mengwi terjadi pelimpahan kekuasaan dimana I Gusti Agung Putu cucu dari I Gusti Agung Dimade (I Gusti Agung Badeng) Setelah berhasil dalam semedi di Puncak Mangu maka beliau bersama 40 rakyat ( pengiring ) dari Marga berhasil merabas hutan yang angker dan beliau membangun puri, darisana kemudian daerah itu di sebut Belayu (Bala Ayu). Nah disitulah Raja Mengwi yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI menyerahkan kerajaan serta mandat kekuasaan atas kerajaan Mengwi yang terbentang dari sebelah barat dan utara beringkit sampai sebelah selatan Perean kepada I Gusti Agung Putu sebagai bukti setia dan tunduk maka Kyai Agung Anglurah Mengwi VI yang kemudian disebut Ngurah Pupuan menyerahkan sebuah senjata tombak sakti bernama Ki Baru Pandak. Belakangan beliau berpindah dari Belayu ke Bekak pada saat peresmian puri tersebut maka di situlah Pasek Badak diundang dan dikalahkan, lagi-lagi atas nasehat orang Cina maka puri di pindah lagi kearah tenggara serta tetamanan beliau yang bernama Taman Ganter diserahkan kepada rakyat dan orang Cina tersebut membangun taman baru di antaran dua sungai dengan cara bembendung di sebelah selatan maka kelihatan taman tersebut berada di tengah danau yang kemudian bernama Taman Ayun. Setelah kerajaan dirasa aman kehidupan rakyat makin baik dan tentram karena I Gusti Agung Putu mampu memimpin rakyatnya serta berwibawa. Ketentraman sedikit terusik oleh ulah Panji Wayahan yang ingin memperluas wilayah kerajaan Denbukit seperti cita-cita ayahnya kearah selatan. Di situlah I Gusti Agung Putu yang bergelar Cokorde Sakti Mengwi menjadi murka dan segera mengerahkan prajurit untuk menggempur kekuasaan Panji Wayahan di Denbukit, maka terjadilah pertempuran yang amat dasyat, yang mana akhirnya terjadi kekalahan di pihak Panji Wayahan. Disitulah akhirnya Panji Wayahan supaya Denbukit tidak dikuasai oleh Mengwi maka wilayah Blambangan yang dulu didapat oleh ayahnya kini diserahkan kepada raja Mengwi. Pada suatu hari raja Mengwi hendak melihat-lihat daerah jajahannya yaitu Blambangan, pada saat beliau hendak berangkat maka beliau menitipkan kerajaan Mengwi kepada raja Tabanan yang sekaligus paman dari hubungan nenek yaitu Gusti Alit Dauh di mana dulu Gusti Alit Dauh pernah dibantu oleh Kyai Agung Dimade (Kyai Agung Badeng) ketika hendak mengalahkan kyai malkangin dengan bantuan kyai agung dimade (Kyai Agung Badeng) Kapal, yang kemudian bergelar Sri Megada Sakti. Setelah Cokorde Sakti Mengwi datang dari Blambangan maka beliau bergelar Cokorde Sakti Blambangan.
Kini diceritakan kembali I Gusti Agung Putu setelah menerima senjata Tombak Sakti Ki Baru Pandak, lalu beliau mengutus kembali Ngurah Pupuan untuk mengempur kekuasaan Ngurah Batu Tumpeng (Kekeran) karena beliau teringat akan masa lalu dimana beliau pernah dikalahkan oleh Ngurah Batu Tumpeng atas nama raja Mengwi. Setelah Ngurah Batu Tumpeng kalah dan terbunuh ada sebagian keluarganya yang lari kearah barat.
2.2. Sejarah Pura Dalem Sari
Kyai
Ngurah Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi V, memiliki permaisuri
putri dari Kyai Ngurah Ayunan yang amat cantik, sehingga sangat saying terhadap
permaisuri, sutu ketika sang permaisuri jatuh saakit, semu tabib istana tidak
mampu menyembuhkan bahkan banyak diluar kerajaan diundang namun tidak ada yang
mampu menyembuhkan.
Oleh
sebab itu pikiran raja mengwi diliputi oleh rasa putus asa, yang mana akhirnya
beliau bersabda bila ada rakyat atau siapaa saja yang mampu menyembuhkan
permaisuri rja jika di perempuan akan dipersaudarakan dengn sang permaisuri,
jika laki-laki akan dikawinkan dengan permaisuri, maka tidak terlalu lama
berita itu tersebar hingga keluar kerajaan bnyak tabib datang menghamba sert
berusaaha mengobati sakit yang diderita oleh sang permaisuri.
Namun
dari sekian banyak yang datang tidak satupun yang mampu menyembuhkan, lagi-lagi
hati paduka raja bertambah duka sampai-sampai beliau merenung dalam hati apakah
ini suatu ujian dari sang dewata atau pertanda yang tidak dimengerti.
Sehari-hari bginda raja lebih banyak duduk termenung, mengenang permaisurinya
yang sangat disayang dn dicintainya maka para abdi kerajaan juga semakin kalit
pikirannya melihat ratunya demikian.
Tidak
disangka seorang abdi beliau yang masih perjaka dtng menghdp serya menghaturkan
sembah bhakti serta menghibur hati sang paduka raja, namun disanalah sang abdi
mengutarakan atau mempermaklumkan nitnya serta mohon restuke pada baginda raja
bahwa sang abdi ingin mencoba mengobati penyakit yang diderita oleh sng
permaisuri.
Maka
begitu raja mendebgar kata-kata dari abdi tersebut serta merta beliau merasa
kaget karena abdi tersebut bukanlah tabib, namun hasratny yang mulia maka sang
baginda raja memenuhi permohonannya , disanalah sang abdi mohon pamit kepada
badinda raj untuk melihat sang permaisuri.
Baru
keesokan harinya abdi tersebut mulai membuat ramuan yang akan dipersembahkan
kepada baginda permaisuri raja kerajaan
mengwi, tidak begitu lama mulai ada tanda-tanda perubahan dimana baginda
permaisuri raut wajah beliau terliht lebih cerah dari biasanya dan akhirnya
beliau sembuh seperti sedia kala. Betaba bahgia hati sang baginda raja
sampi-sampai beliu memerintahkan para dayang untuk mengadakan jamuan mengenang
kesembuhan sang permaisuri banyak yang datang kal itu ddari para menteri, punggawa,
sampai-samapi paraa pemuka rakyat sehingga keadaan puri mengwi betul-betul
raame.
Setalah
acara selesai baginda raja lagi-lagi duduk termenung setelah mengingat akan
sabda beliau ketika sang permaisuri sakit keras, setelh berselang sekian hari
pra menteri,punggawa dan lainnya kembali diundang, pada pertemuan itulah
baginda raja menyerahkan sang permaisuri kepada abdi beliau sendiri.
setela
acara acaraa itu usai para pembesar
kerajaan kembali kerumah masing-masing dimana mulai saat itu baginda raja mulai
sering termenung mengenang permaisuri yang sangat dicintainya, namun kini telah
diperistri oleh abdi beliau sendiri . suatu malam baginda raja amat gelisah,
malam semakin larut baginda raja akhirnya keluar puri menyusuri jalanan hingga
tpal, batas selatan kerajaan (sebelah utara beringkit). Tanpa disengaja baginda
melihat bayangan berkelibat. Baginda berpikir mungkin bayangan ini adalah
penyebab kegelisahaannya, maka dicabutnya keris yang selalu dibawa oleh baginda
dan dihujamkankebayangan tersebut.
Apa
boleh buat setelah setelah diamati ternyata bayangan itu dalah abdinya sendiri
dengan seekor anjingnya yang sedang pergi mengail, karena diliputi oleh rasa
bersalah yang amat sangat dan malu akhirnya baginda baginda raja cepat-cepat
pergi dari tempat itu. Seekor anjing kesayangannya lalu menggosokkan badan
ketubuh abdi tersebut yang sedang mengeluarkan darah, setelah badannya
berlumuran darah maka anjing tersebut pulang menemui istri abdi tersebut yang
manta permaisuri raja Mengwi.
Disitulah
istri abdi tersebut mencium bau amis drah manusia, maka dibuntutilah anjing
tersebut. Betapa terkejutnya beliau melihat suaminnya telah menjadi mayat, maka
timbullah dalam benakny untuk bunuh diri (masatya) disamping suaminya. Namun
sebelumnya sang istri terlebih dahulu membunuh anjing kesayangan suaminya,
karena beliau berdua belum memiliki keturunan yang akan menjaga anjing
tersebut.
Setelah paduka raja
membunuh abdinya secara tidak sengaja maka beliau selalu diliputi rasa bersalah
dan ditempat itulah akhirnya baginda raja membangun sebuah pura ( Gedong Dalem)
beserta dua pelinggih disebelahnya (Lanang Wadon) yang mana akhirnya pura
tersebut diberi nama pura Dalem Sari, pura Dalem Sapu Jagat yang disungsung
oleh keturunan raja Mengwi( Puri Gede Pupuan)
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Menyimak
perjalanan buku perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng di Bali, maka ada
seperangkat hal yang bisa dipetik. Tidk berkelebihan kalau dikataakan bahw
kedua tokoh yang menjadi pokok cerita ini adalah orang-orang yang sangat luar biasa.
Keduanya adalah paglawan Nusa Bali yang ikut secara lahir bathin mewariskan
kepada mereka yang hidup dalm peradaban masa kini, sebuah pulau kahyangn ykni
Nusa Bali seperti yang kita dapati
sekarng ini. Sebuah pulau yng benar-benar menjadi Nusaning Nusa, pulaunya
pulau, pulau idaman insane sedunia. Modal dasar deri kedua tokoh ini adalah
tidal in ajarn Dharma, baik Dharma dalam arti kebajikan maupun Dharma sebagai
Dharmanya seoraang ksatriya yang wajib membela dan mengukuhkan nusa-negara.
Berbicara
mengenai Dharma, sangat banyk tulisan pegangan atau referensi manusia Hindu di
Bali untuk berprilaku ideal, yakni berfikir, berbicara dan berbuat yang baik.
Ketika Ida Bhatara Arya Kenceng demikian syiknya pengabdian diri dengn perjalan
diatas rel dharma, maka keturunannya sebagian besar memang menapaki apa yang
telah dirintis oleh beliau, namun sebagian kecil mungkin terlena oleh
kepentingan rjas dan tamasnya yang lebih besar dari kepentingan satwanya.
Hal
yang menjadi landasan utama beliau berdua melakukan Swadharmanya sebagai
seorang ksatrya membantu mahpatih Gajah Mada mewujudkan satu kesatuan
Nusantaradibawah panji kerajaan Majapahit. Lihat saja bagaimana Ida Bhatara
Arya Kenceng mendapatkan tugas melaksanakan pembangunan di Pura Besakih dan Pura
Kentel Gumi sebagai dewa kusala-sala tempat
bersemayamnya para dewa. Bakti ring dewa, selalu memuja yang maha kuasa. Itulah
nampaknya sebagai dasar kedua leluhur ini menapaki hari-harinya.
Kisah
perjalanan para leluhur ini juga mengingatkan pada kebijaksanaan seorang raja
Dasaratha sat memimpin kerajaan Ayodya seperti yang diubah dalam kekawin
Ramayana oleh Mpu Yogiswara:
Gunamanta Sang Dasaratha,
Wruh sira ring weda bhakti ring
dewa,
Tarmalupeng pitra puja,
Masih t sireng swagotra kabeh
Beliau
Sang Prabhu Dasaratha paham betul dengan tatwa weda, sangat memuja sang
pencipta, tiada lupa kepada para leluhurnya, serta… kasih saying terhadap
masyarakat semuanya sungguh seorang pemimpin yang ideal.
Sesungguhnya bekerja sesuai dengan
swadharma atau tugas masing-masing yang diemban dengan tanpa dipengaruhi oleh
pamrih duniawi, akan menghasilkan kenikmatan lahir bathin. Perjalanan manusia
dapat dipastikan akan diwarnai dengan dua hal yang berbeda, yng dikenal dengan
konsepsi Rwa-Bhineda. Terbukti dengan adanya perbedaan kepentingan bahkan antar
saudara. Karena itu tidak jarang terjadi saling benci, pergulatan antar
kelompok, pertikaian yang acap kali berakhir pada akibat yang patal yakni
saling bunuh.
3.2. Saran
Semoga dengan membaca
paper ini, banyak hal yang bisa dipelajari oleh masyarakat. Gambaran keutamaan
para tokoh yeng melints dari wakti kewaktu, yang bisa dipakai cermin untuk
berkiprah menyongsong mas depan. Dengan menyimak perjalanan para leluhur ini,
semoga m,asyarakat memiliki rasa jengah
yang positif yang perlu dibangkitkan untuk menapaki kehidupan di depan.
Bangkitlh, bekerjalahh, berkreatifitaslah seperti dinjurkan weda. Jangan
terlena oleh buaian kepentingan sesaat. Kukuhkan Nusa Bali dengan keluhurannya,
guna menopang Nusantara kita nan Jaya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Sejarah Yayasan Kerti Budaya. 2011. Perjalanan Arya Damar dan Arya Kenceng.
Pustaka larasan: Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar