Rabu, 08 Januari 2014

Sejarah Veda



SEJARAH PERKEMBANGAN VEDA
A.   Pengertian weda
            Veda berasal dari akar kata vid yang artinya tahu akhirnya dari vid menjadi Weda yang artinya ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pengartian Weda dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu :
1.      Weda yang berarti ilmu pengatahuan bentuk tulisannya biasa.
2.       Weda yang berarti mantra-mantra atau ucapan-ucapan suci dengan aturan-aturan tertentu, bentuk tulisannya harus memakai a dirge (panjang) yaitu Weda.
Perlu diketahui bahwa Weda berbentuk sloka, kecuali beberapa bagian dalam bentuk prosa berirama. Weda mengandung sloka-sloka dan prosa yang paling  kuno dalam sejarah umat Hindu
            Bahasa yang dipakai dalam ajaran Veda pada mulanya adalah bahasa “Deiwi Wak” yang artinya bahasa Dewata. Akhirnya lama kelamaan mengalami perubahan menjadi bahasa Sansekerta. Perubahan itu diperkirakan sekitar tahun 200 SM. Setelah berubah dari bahasa Daiwi Wak menjadi bahasa Sanskerta barulah isi weda itu dapat dipelajari dan dipahami oleh orang-orang kebanyakan terutama didaerah India dan sekitarnya bahkan sampai ke Indonesia.
            Weda ada empat macam, yaitu
-          Rg veda, yang terdiri dari 10.552 mantra (stanza),
-          Sama veda, 1.875,  
-          Yajur veda (teks Vajasaneya Samhita) 1.975 (beberapa mantra dalam bentuk prosa) dan
-          Atharya veda, 5.987 (ada stanza-stanza dalam bentuk proses).
Kumpulan Veda seluruhnya berjumlah 20.389 mantra, tidak termasuk kitab-kitab yang bersumberkan Veda seperti Brahmana, Aranyaka, Upanisad, dan lain-lain. Namun jumlah tersebut termasuk pengulangan, terutama sejumlah sloka Rg Veda yang diulang dalam veda-veda lainnya. Biasanya sloka digambarkan orang sebagai sloka-slok primitive. Jika yang dimaksud sloka primitive itu nyanyiam suatu suku bngsa atau balada rakyat, maka haal itu jauh dari kenyataan, sebab penyair primitif tidak akan melantunkan lagu:
Pikiran adalah laksana bantal dipanya, penglihatan adalah salep matanya  ( Rv. X.85.7)

Apabila kita bersikeras menganggap sloka weda itu primitif, kita harus mengacu pada kemurnian awal dan keterlepasannya dari pengaruh buruk peradaban berikutnya. Agama weda dapat bertahan hidup hingga beribu-ribu tahun meskipun mengalami pergolakan social politik dan serangan gencar terhadapnya dari masa kemasa. Beranjak dari serangan dan reaksi agama terhadapnya mungkin memberinya beberapa sinar pada kekuatan batin. Dalam weda kita tidak menemukan adanya tragedi keterpisahan jiwa, dan penderitaan serta kesengsaraan yang menyertainya, tidak ada juga perasaan tertekan dari tradisi kosmisi dan kesedihan yang diakibatkan oleh-Nya. Karena para Rsi Weda mencintai kehidupan dan Tuhan maka setiap keinginan mereka akan kebaikan dunia dilaahirkan dalam bentuk doa yang bersemangat. Dan doa itu sering kali berbentuk nyanyian yang ditijikan kepada ‘pecinta nyanyian yang utama ‘ (Rv.1.10.12).
Bahasa Weda ditandai oleh pengungkapan yang sangat hemat. Bahasanya sering pula padat sehingga artinya menjadi kabur. Penggambaran kehidupan dan alam yang indah memberi arti yang mendalam namun tersembunyi. Istilh guha-hita  atau guha –nihita sering digunakan dalam Weda untuk menyatakan kebenaran mistis.  Orang-orang bijaksana India, sejak jaman sesudah Weda sampai jaman kita sekarang ini terus mencari dan mencari untuk menemukan pewahyuan kebenaran spiritual terdalam dalam Weda.

B.    Bahasa Dalam Weda
        Sebelum weda mulai diselidiki Bhagawan Panini mulai menyusun tata bahasa sanskerta, pada tahun 700 SM, dan menanamkan bahasa yang dipakai dalam weda dengan nama “Daiwi Wak” (bahasa dewata). Baru dalam tahun 200SM, bahasa itu mulai dikenal dengan nama sanskerta, setelah Patanjali menulis kitab Bahasa, pada abad ke 11 SM. Nama sanskerta yang untuk pertama kali diperkenalkan oleh Patanjali yang untuk menyebutkan nama bahasa yang dipakai oleh masyarakat bahasa pergaulan Bharatawarsa.
Kemudian bahasa itupun dibedakan pula dari bahasa pali, bahasa yang dipakai oleh orang-orang Maghadhi didalam penyebaran Agama Budha.
        Setelah Bhagawan Panini berhasil menyusun tata bahasa sanskerta, jejak beliau diikuti oleh Bhagawan Katyayana yang lebih popular dikenal dengan Bhagawan Wararuci pada abad V SM. Beliau menulis keterangan-keterangan tambahan atas karya Panini disamping sebagai penulis Sarasamuccya, yang karyanya telah diterjemahkan di Indonesia kedalam bahasa Jawa Kuno pada waktu jaman keemasan Hindu di Jawa dan dialihkaan bahasanya kedalam bahasa Indonesia tahun 1970.
        Sejarah pertumbuhan bahasa sanskerta setelah lahirnya kitab tata bahasa Panini itu kemudian membntu mempercepat proses pertumbuhannya sehingga dalam pertumbuhan abad kedelapan, Sanskerta menjadi bahasa percakapan sehari-hari.
        Kitab-kitab agama di Indonesia semuanya dalam bahasa sanskerta, tetapi karena diIndonesia terdapat bahasa tersendiri, karena itu untuk menjelaskan pokok-pokok ajaran agama itu penjelasannya dilakukan kedalam bahasa Kawi. Dari mantra-mantra dan kitab-kitab agama yang kini masih tersimpan dalam bentuk lontar-lontar umumnya terdiri dari dua bahasa yaitu bahasa sanskerta dan bahasa Kawi atau Jawa Kumo.
        Teks sanskerta adalah naskah asliya, sedangkan bahasa Kawinya adalah terjemahan atau terjemahan berikut komentarnya. Misalnya kitab sarasamuccaya, Sang Hyang Kamahayanikan dll, system penyajian umumnya sama, kecuali naskah perubahan bahasa yang bersifat sastra, baik sebagai Nibanda Saastra, misalnya Kekawin Ramayana, Gatotkacasraya, Bharatayudha, dll, semuanya ditulis kedalam bahasa Kawi yang banyak meminjam bahas sanskerta itu.
        Karena itu didalam mempelajari itu, pengenalan bahasa sanskerta, bahasa Kawi dan bahasa Jawa Kuno sangat diperlukan. Hanya dengan demikian kita akan dapat mengungkapkan isi weda itu nanti.  

C.   Cara Weda diwahyukan.
        Tidak ada satu uraian tepat bagaimana wahyu itu diturunkan, kecuali melalui penafsiran atau keterangan tak langsung dari berbagai ulasan yang dapat kita himpun dari berbagai buku sebagai sumber inspirasi. Perlunya pengetahuan bagaimana weda itu diwahyukan karena pada mulanya bahwa weda adalah wahyu Tuhan yang diyakini oleh umat Hindu dan kebenaran akan wahyu itu tidak boleh dibantah lagi karena weda itu adalah wahyu, maka adalah wajar pula kalau kita bertanya dan mencari jawaban atau penjelasan yang dapat mengungkapkan bagaimana wahyu itu diturunkan.
        Penjelasan yang dapat dikaji dalam memberi ulasan tentang turunnya wahyu Tuhan adalah melalui tafsir dan keterangan-keterangan yang dapat diperoleh dari weda itu pula. Yang penting yang harus diyakini dan diimani adalah tahap pertama, adanya peranan mediator antara Tuhan dengan penerimnya yaitu pra Maharsi, dimana dewa Brahma sebagai dewa Sabda dinyatakan menyampaikan kata-kata itu pada penerimanya. Ada berbagai cara atau proses yang dapat kita jumpai tentang bagaimana wahyu itu sampai pada Maharsi yaitu :
1.      Menjelaskan bahwa itu dimasukkan langsung kedalam pikiran orang atau memasukkannya dalam-dalam kedalam hatinya. Kata-kata itu member kesan dan bentuk rupa atau keadaan yang kemudian menemukan bentuknya berkembang dalam pikiran.
2.      Wahyu itu membentuk kesannya dengan melalui contoh perintah langsung yang dilakukan oleh dewa-dewa yang dinyatakan dewa-dewa memperlihatkan dirinya dalam berbagai bentuk manusia biasasebagaimana dapat kita tafsirkan dalam uraian kitab-kitab purana. Ajaran yang diberikan oleh dewa-dewa itulah yang akhirnya dibukukan sebagai ajjaran,sabda Tuhan karenan sabda itu sendiri adalah adalah sabda dewata.
3.      Wahyu diturunkan seperti suara gemanya lonceng. Gema atau AUM itulah yang yang membentuk rupa dalam Aksara dikenal sebagi outtara atau disebut SWARA NADA. Swara  Nada inilah yang merupakan gemerincingnya suara melahirkan kata-kata yang member petunjuk mengenai arti dan makna suara-suara itu sendiri. Cara ini yang paling sulit dalam ilmu, dan karena itu bagian ini pula yang dinyatkan bagin yng paling rahsiaa.
4.      Dewa-Dewa yang memperlihatkan dirinya dalam berbagai bentuk yang mulia. Kejadian ini agak berbeda dari proses yang disebut dalam uraian no.2 diatas, karena dalam uraian no.2 dewa-dewa didalam manifestasinya dalam bentuk manusia biasa. Penggambaran turunnya wahyu seperti dalam kejadian ini, hanya dilukiskan sebagaimana manusia secara impiris, secara langsung berhadapan dengan dewa yang mnenyampaikan pewarah-warahnya kepada si penerima.
        Pengumpulaan berbagai mantra menjadi himpunan buku-buku adalah merypakan kodifiksi Weda. Ayat-ayatnya yang begitu banyaknya yang telah diturunkn kedunia  tidak diturunkan sekaligus atau bersamaan ditempat yang sama, melainkan  dari jaman ke jamaan meliputi ribuan tahun. Untuk mencegah ayat-ayat tersebut agar tidak hilang dan dapat diingat banyak usaha yang dilakukan untuk menyusun dan menyimpulkan ayat-ayat itu.
        Berdasarkan system pertimbangan materi dan ruang lingkup isinya jelas kalau jumlah jenis buku Weda itu banyak. Maha Rsi Manu membagi isi Weda itu kedalam dua kelompok besar yang disebut
1.      Weda Sruti, dan
2.      Weda Smerti.
        Kedua-duanya merupakan sumber hukum yang mengikat yang harus diterima, oleh karenanya Bhagawan Manu menegaskan didalam kitabnya Manawadharma sastra II.10 :

Srutistu wedo wijneyo
Dharmasa atram tu wai smrtih
Te sarwatheswam immamsye
Tabbyam dharmo hinirbabhau
Artinya:
Sesungguhnya sruti (Wahyu) adalah weda demikian pula smrti itu adalah dharmasastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga, karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari hukum suci itu (Dharma).

D.   Sapta Rsi penerima Wahyu
        Kitab suci Weda diwahyukan melalui sapta rsi. Sapta Rsi adalah tujuh Rsi. Sapta Rsi ini adalah tergolong golongan Wipra yng dinggap sebagai Nabi penerima wahyu yang pertama didalam Weda (Rg. Weda). Istilah Rsi tidak sama artinya dengan pendeta, walaupun kadang-kadang diartikan demikian seperti terdapat dibeberpa daerah.
        Seorang Rsi mempunyai sifat-sifat tertentu dan jabatan tertentu. Ia adalah pendeta dan jiga sastrawan, jadi sukarlah untuk mengatakan kedudukan Rsi yang sebenarnya, sedangkan dewasa ini rsi adalah pendeta. Oleh Karen itu untuk membedakan arti kata Rsi sekarang dengan arti kata Rsi jaman dahulu, biasanya digunakan istilah Maha Rsi yang artinya Rsi yang agung dan utama melebihi dengan Rsi-Rsi lainnya. Dalam hubungan ini di adalah Nabi dan dia adalah Wahyu.
        Tujuh Rsi ini merupakan  Rsi-rsi yang paling banyak disebut namanya, baik sebagai Nabi maupun sebagai sastrawan. Ketujuh itu merupakan kelompok-kelompok keluarga dari padanyalah semua ayat-ayat yang terdapatdalam Weda ini dianggp sebagi sumbernya sebab dialahyang menerima pertama melalui Dewa Brahma (sebagai malaekat) yang menyampikan ayat-ayat itu.           
 Ketujuh keluarga  Maha  Rsi penerima wahyu Tuhan yaitu:
1.      Mah Rsi Grtsamada,  yaitu Maha Rsi yang dihubungkan dengan turunnya ayat-ayat Weda (Rg Weda) terutama mandala II, Beliau adalah keturunan Sunahotra dari keluarga Angira.
2.      Maha RsiWiswamitra , yaitu Maha Rsi yang kedua yang menerima wahyu yang kemudian dihimpun dalam Weda,  Seluruh mandala III, yang memuat 48 sukta.
3.      Maha Rsi Wamadewa, yaitu Maha Rsi yang dihubungkan dengan turunny ayat-ayat Rg Weda dari mandala IV
4.      Maha Rsi Atri, yaitu Mha Rsi yang dihubungkan dengan turunnya ayat-ayat Weda yang dihimpun dalam  Mandala V, yang memuat 87 sukta
5.      Maha Rsi  Bharadwaja, yaitu Maha Rsi yang menerima  ayat-ayat Rg Weda yang dihimpun dalam mandala VI, yang memuat 75 sukta
6.      Maha Rsi Wasiswa, seorang Maha Rsi yang menerima wahyu ayat-ayaat Weda (Rg Weda) yang dihimpan pada mandala VIII, sedangkan mandala VII diterima oleh putrnya .
7.      Maha Rsi Kanwa, yaitu Maha Rsi yang menerima wahyu  yang dihimpun kemudian merupakan buku (  mandala) VIII
         Ketujuh Rsi ini kemudian menyebarkan dan mengajarkan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada murid-muridnya yang kemudian dilanjutkan dan diajarkan kepada semua umat. Sehingga weda dapat tersebar luas, dan dapat dikenal oleh seluruh umat.
        Selain ketujuh para Maha Rsi diatas, ada beberapa Maha Rsi yang lain penerima wahyu Tuhan yaitu
1.      Maha Rsi Sunahsepa,
2.      Bhagawan Wyasa (Byasa)
3.      Maha Rsi Agastya
4.      Dang Hyang Markandeya
5.      Mpu Kuturan
6.      Dang Hyang Dwijendra.


E.     Perkembangan Weda.
        Kitab suci agama Budha, Kristen, dan Islam mempunyai waktu yang telah ditetapkan baginya oleh para pemimpin Ulama mereka masing-masing. Kitab suci Tripitaka dikatakan telah ditulis pada jamannya maharaja Asoka, walaupun menurut akhli-akhli tertentu yang berwenang umur Budha dapat diterangkan berabad-abad terlebih dahulu. Kitab suci Injiil perjanjian baru kira-kira berasal dari tahun 2000an tahun yang lalu. Semua kitab suci ini mempunyai waktu yang historis yang ditetapkan baginya.
        Tetapi berbeda dengan kitab-kitab suci weda tidak seorangpun dapat mengatakan dengan pasti kapan kiranya kitab-kitab suci ini menjelma ke Dunia.  Namun demikian para orientalis akhli peradaban Timur sangat berhasrat untuk menemukan kapan kiranya kitab suci Weda itu disusun. Beberapa diantara mereka menyebutkan bahwa hal ini terjadi pada tahun 1500 sebelum tahun Masehi.
        Radhakrisnan       menyatakan bahwa jaman weda dimulai1500 SM yang meliputi jaman kedatangan bangs Arya dan penyebarannya di India serta penyebaran kebudayaan dan peradaban Arya itu.
        Selanjutnya berdasarkan suatu metode untuk menentukan isi kitab-kitab suci weda dikatakan didasarkan atas bukti-bukti pada gaya bahasa kitab suci tersebut yang berubah dari weda-weda upanisad dan sutra-sutra sampai  kepada kesusastraan Kawya.
        Atas dasar inilah, dengan jalan menyetujui perbedaan 200 tahun ini bagi pudarnya suatu gaya bahasa baru, maka diperhitungkan secara kasar dengan jalan menghitung kebelakang, bahwasanya kitab-kitab suci weda seyogyanya ditulis tahun 1500 SM
        Perkembangan weda pada mulanya adalah di India yaitu daerah Panjab dan Doab dianatara bangsa Arya dan Dravida. Selanjutnya dari sanalah perkembangan kedaerah sekitarnya dan juga sampai di Indonesia.
        Sejarah kebudayaan Indonesia jaman purba berlangsung sejak dari datangnya bangsa dan pengaruh Hindu pada abad-abad pertama tarik masehi sampai  ±  thun 1500 dengn lenyapnya kerajaan Majapahit. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah jaman praasejarah Indonesia, Karena terdapatnya keterangan-keterangan tertulis itu berupa batu0 batu tersurat, dan didapatkannya di Kutai (Kalimantan Timur) dan di Jawa Barat. Tulisan yang dipakai adalah hurup yang lazim di India Selatan, antara kira-kira abad ke-3 sampai ke 7. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa sanskerta, bahasa resmi di India yang diubah dalam bentuk syair. Maksud piagam-piagam itu adalah terutama  memuji kebesaran sang raja yang memerintah dewasa itu dan yang telah melakukan saji secara besar-besaran menurut upacara hindu untuk keselamatan dan kesejahteraan kerajaan serta rakyatnya.   
        Pandangan keTuhanan dalam Weda jauh lebih luhur dan rohaninya lebih mendalam dari kepercayaan yang biasanya dikenal sebagai kepercayaan monoteisme, politeisme dan henoteisme. Kepercayaan Weda mengisyaratkan adanya Dharma yang berarti hukum abadi, misalnya tentang Wisnu dikatakan bahwa “Ia menegakkan hukum abadi (dharmani)” (Rg Veda 1.22.18). Dharma berarti dasar-dasar agama, pola tingkah laku ideal yang diterima sebagai dasar kehidupan yang benar oleh tatanan keagamaan India Kuno, baik yang berTuhan, yang tidak berTuhan maupun yang tidak percaya adanya Tuhan

E.   Penyebaran Weda
        Penyebaran ajaran weda disasarkan ketentuan Rg Weda X.71.3.  Berdasarkan ayat-ayat itu sabda-sabda dalam weda akan tersebar luas serta menjadi popular melalui nyanyian dan lagu yang disampaikan melalui yadnya. Dengan demikian maka weda akan didengar oleh masyarakat umum tanpa mengenal batas karena golongan.
        Menurut Rg Weda X. 71 (4) menyebutkan adanya empat macam orang yang akan menyebarkan ajaran weda menurut profesi mereka masing-masing. Keempat tipe itu merupakan system penyebaran ajaran weda, yaitu:
1.      Akhli kawi sastra menyebarkan ajaran weda melalui profesi mereka, misalnya dengan menyusun tulisan-tulisan kawi atau puisi dan melagukannya sehingga setiap orang dapat turut mendengar, menikmati keindahan isi serta bentuk perubahan sastra.
2.      Seniman menyebarkan ajaraan weda melalui profesi mereka, misalnya dengan menyanyian atau melagukan sehingga setiap orang ikut menikmati keindahan perubahan isinya melalui perubahan-perubahan lagunya. Dengan demikian dilagukannyalah sabda-sabda dalam bentuk nyanyian, kekidungan dll, baik dalam bentuk mecapat maupun dalam bentuk kekawin seperti Gayatri, Usnik, Anustub, Brihati, Pankti, Tristub, Jagati, Manda, Malon, dsbnya.
3.      Akhli-akhli yang akan membahas, merubah, mengembangkan dsbnya, sehingga isinya dapat dimengerti, dirasakan dan dihayati sepenuhnya baik secra popular, maupun secara ilmiah. Melalui para akhli inilah ajaran weda tersebut disebarkan dan diyakini oleh setiap pembaca.
4.      Pendeta pemimpin upacara yadnya yang akan merumuskan, membudayakan dan mengembangkan melalui doa-doa improvisasi, penghayatan secara mistik sehingga keseluruhan ajarannya dapat dinikmati serta dihayati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik mereka yang berpikiran maju, maupun mereka yang jalan pikirannya masih sederhana. Pendeta akan mengucapkan mantra-mantra dengaan menghayatkan den melagukannya sedangkan yang lain mendengar dan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pendeta tersebut. Ajaran inipun diketengahkan dalan Yajur Weda XIII

Rv. X. 71. 3. Menyebutkan;
Yajnena vacah padaviyamayan tam anvavindann rsisu pravistam,
Tam amrtya vyadadhuh purutra tm sapta rebha abhi sam navante.

Dengan melakukan korban suci mereka mengikutii tata-cara seperti kata
(vak) suci, yang dikuasai oleh orang-orang bijak(Rsi); setelah memperoleh
Pengetahuan itu, mereka melaksanakannya; dan ketujuh penyanyi melagukannya
Bersama-sama.
Melalui yajna-lah ajaran weda disebarluaskan. Maka hal-hal yang belum teruraikan dalam upacara, dinyanyikan oleh pendeta didepan umum. 

         















Daftar Pustaka
1.      Iketut Sadia BA, IB Damana, dan I Ketut Tika., Weda Untuk PGA Hindu, cetakan ke -1, Mayasari-Jakarta, 1982.
I wayan Maswin

1 komentar:

  1. mohon info kapan ajaran Weda disalin ke kertas dan siapa yang menyalinnya? tks https://nafanakhun.wordpress.com/2019/08/29/sejarah-penulisan-kitab-suci-perjanjian-lama-perjanjian-baru-dan-al-quran/

    BalasHapus