Upacara
Melaspas
Upacara
Melaspas bermakna upacara yang bertujuan membersihkan dan
menyucikan bangunan yang baru selesai dibangun/dibuat atau baru ditempati
kembali, seperti rumah, kantor, toko, kandang dan lain lain. Sementara
untuk pembangunan tempat suci palinggih atau istana Dewa, Bhatara serta Dewa
Pitara/Hyang, upacara Melaspas dilanjutkan dengan Ngenteg Linggih.
Melaspas dalam bahasa Bali nya terdiri dari dua rangkaian kataMlas
artinya pemisah sedangkanPas artinya cocok, jadi kalau di
jabarkan/uraikan Melaspas adalah pembuatan bangunan terdiri dari dua
unsur yang berbeda (kayu dan batu), lalu di satukan terbentuklah bangunan yang
cocok atau layak untuk di tempati/didiami.
Upacara
Melaspasini wajib dilakukan oleh Umat Hindu di Bali dan sudah
menjadi tradisi secara turun temurun hingga saat ini. Kegiatan upacara
ini diadakan agar orang yang akan menempati bangunan tersebut merasa tentram,
kerasan/betah dan terhindar dari hal hal yang tidak diinginkan (sakit, boros,
marah marah, pertengkaran), dalam arti kata lain tidak tenang dan nyaman berada
di tempat tersebut maka diadakan lah upacara Melaspas ini.
Dalam
upacaraMelaspas ini ada tiga tingkatan penggolongan sesuai dengan
kemampuan dan keadaan ekonomi dari yang akan melaksanakannya. Upacara ini
dipimpin oleh seorang pendeta
Tiga
tingkatan bentuk upacara Melaspas ini:
- Kanista upacara yang diadakan tergolong kecil.
- Madyaupacara yang diadakan tergolong menengah.
- Utama upacara yang diadakan tergolong besar.
Pelaksaan
upacara:
- Ngayaban caru(Ngayaban: mengantarkan sesajen dengan mantra).
- Mengundang Bhutakala.
- Memberikan labaan.
- Mengusir atau mengembalikan ketempat masing masing, roh roh yang ada pada bangunan tersebut, dan honon dihadirkan Dewa Ghana sebagai dewa rintangan.
- Ngayaban Pamlaspas yang di dahului dengan:
- Mengucapkan orti pada mudra bangunan
- Memasang ulap ulap pada bangunan, ulap ulap dipasang tergantung jenis bangunan ( ulap ulap kertas yang ditulis dengan hurup rajahan ).
- Bila bangunan tersebut tempat suci maka dasar banguan digali lubang untuk tempatkan pedagingan, kalau bangunan utama di isi pedagingan pada puncak dan madya juga, pada bagian puncak diisi padma dari emas.
- Pangurip urip,arang bunga digoreskan pada tiap tiap bangunan (melambangkan tri murti, Brahmana, Visnu, Iswara), jadi umat Hindu Bali percaya bahwa bangunan yang didirikan tersebut menpunyai daya hidup.
- Ngayaban banten ayaban dan ngayaban pras pamlaspas yang didahului memberikan sesajen pada sanggah surya ( Batang bambu yang menjulang tinggi)
- Ngayaban caru prabot
- Ngenteg-Linggih. Bila yang di Pelaspas adalah tempat suci (palinggih), lalu upacaranya di tingkat madya dan nistaning utama bisa dilaksanakan sekaligus. (Drs.I Nyoman Singgih Wikarman)
Serangkaian
upacara yang dilakukan ini semua bermakna agar manusia selalu bersyukur
kehadapan yang sang pencipta dengan apa yang telah diberikannya.
Dari
pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa dengan mengadakan upacara Melaspas
ini kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, saat menempati bangunan yang sudah
dibangun/dibuat diberikan rahmat dan anugerahnya agar tidak terjadi hal hal
yang diluar keinginan manusia.
Pura dan Sanggah Pamrajan
1. PENDAHULUAN
Suatu
ciri utama kehidupan dalam ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.Kekuasaan-Nya tidak terbatas
sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas.
Manusia
dalam ketidaksempurnaannya selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang
Widhi Wasa agar memperoleh perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan.Mereka
yang memahami pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa
mengutamakan ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam
Bhagwadgita dijelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan yadnya dan
sebagai sumber kehidupan manusia Tuhan menciptakan alam. Oleh karena itu selalu
diupayakan menjaga keharmonisan antara: Tuhan – Manusia – Alam melalui yadnya.
Manusia
yang ingin mendekatkan diri kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dengan jalan yadnya
memerlukan sarana antara lain Pura dan Sanggah Pamrajan.
2. PENGERTIAN PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
Pura
berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu “Phur”, artinya tempat suci, istana, kota.
Lebih khusus berarti tempat persembahyangan untuk umum atau kelompok sosial
tertentu yang lebih luas sifatnya dari Sanggah Pamerajan.
Sanggah
berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti tempat untuk melakukan kegiatan
(pemujaan suci); dan Pamrajan berasal dari Bahasa Kawi: “Praja”, yang berarti
keturunan atau keluarga. Dengan demikian Sanggah Pamrajan dapat diartikan
sebagai tempat pemujaan dari suatu kelompok keturunan atau keluarga.
Dalam
Lontar Siwagama disebutkan bahwa Palinggih utama yang ada di Sanggah Pamrajan
adalah Kamulan sebagai tempat pemujaan arwah leluhur. Untuk menguatkan
kedudukan Kamulan, dibangun Palinggih-Palinggih lain sebagai berikut:
- Taksu: palinggih Dewi Saraswati, sakti (kekuatan) Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan daya majik agar semua pekerjaan berhasil baik.
- Pangrurah: palinggih Bhatara Kala, putra Bhatara Siwa dengan Bhiseka Ratu Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga Sanggah Pamrajan.
- Sri Sdana atau Rambut Sdana: palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri Sdana atau Limascatu, yaitu sakti (kekuatan) dari Dewa Wisnu sebagai pemberi kemakmuran kepada manusia.
- Padma: palinggih Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Siwa Raditya.
- Manjangan Salwang: palinggih Dewa Rsi Mpu Kuturan dengan Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10 M
- Gedong Maprucut: palinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M.
- Gedong Limas atau Meru tumpang satu, tiga, lima: palinggih Bhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga.
- Bebaturan: palinggih Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi.
- Bebaturan: palinggih Bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan.
- Bebaturan: palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Bhatara Brahma, kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa.
- Gedong Limas: palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci.
- Pengapit Lawang (dua buah di kiri-kanan Pamedal Agung): palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra Bhatara Siwa yang bertugas sebagai pecalang.
- Balai Pengaruman: palinggih Bhatara-Bhatari semua ketika dihaturi Piodalan atau ayaban jangkep (harum-haruman). Sering juga disebut sebagai Balai Piasan (Pahyasan) karena ketika dilinggihkan di sini, Pralingga-pralingga sudah dihias.
Catatan:
- Di beberapa Sanggah Pamrajan sering dijumpai beberapa Gedong Limas kecil-kecil yang merupakan palinggih tambahan. Menurut sejarah para leluhur terdahulu yang kebanyakan didirikan untuk menyatakan terima kasih dan bhakti, misalnya ketika sakit memohon penyembuhan dari Ida Bhatara di Pulaki; setelah sembuh lalu mendirikan pengayatan Beliau di Sanggah Pamrajan, demikian selanjutnya berkembang dengan berbagai kejadian, sampai akhirnya ada yang mencapai jumlah puluhan palinggih.
- Palinggih pokok yang ada di Sanggah Pamrajan antara 9 buah atau 11 buah seperti yang disebutkan di atas. Jumlah, jenis, dan letak palinggih-palinggih di masing-masing Sanggah Pamrajan tidak pernah sama karena masing-masing menuruti sejarah leluhurnya.
- Pengelompokan Sanggah Pamrajan berbeda-beda; ada yang memecah menjadi tiga kelompok, yaitu: Kawitan, Sanggah Pamrajan, dan Dewa Hyang dengan batas tembok panjengker, bahkan dengan hari Piodalan dan Pamangku yang berbeda-beda.
3. TATA CARA MEMASUKI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
Pura
dan Sanggah Pamrajan adalah tempat suci oleh karena itu maka sebelum masuk
hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Bersih lahir bathin; lahir: sudah mandi, pakaian bersih dengan tata cara pakaian yang wajar untuk bersembahyang; bathin: pikiran yang hening, tenang, tentram dan siap memusatkan pikiran untuk berbakti kepada Yang Maha Kuasa.
- Tidak dalam keadaan cuntaka, kecuali kematian dan perkawinan, boleh masuk ke Sanggah Pamrajan keluarga sendiri.
- Bayi yang belum diupacarai tiga bulanan tidak boleh masuk karena masih “leteh”.
- Wanita yang rambutnya diurai (“megambahan”) tidak boleh masuk karena rambut yang diurai menyiratkan: keasmaraan (birahi), marah, sedih, dan mempelajari ilmu hitam.
- Ibu yang sedang menyusui bayi boleh masuk dengan syarat tidak boleh menyusui bayi di dalam (jeroan) karena air susu Ibu yang menetes akan “ngeletehin” Pura dan Sanggah Pamrajan, di samping itu dipandang tidak sopan mengeluarkan buah dada.
- Mereka yang sedang sakit, baik sakit badan maupun sakit ingatan, atau yang terluka tidak boleh masuk karena dapat ngeletehin.
- Tidak dalam keadaan mabuk atau “fly”
Pintu/
Pemedal dibuat sempit, cukup untuk satu atau dua orang berbarengan, maksudnya
agar masuk ke dalam Pura dan Sanggah Pamrajan secara tertib tidak terburu-buru.
Setelah berada di dalam Pura dan Sanggah Pamrajan tata tertib yang perlu
diperhatikan antara lain:
- Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman bersembahyang.
- Tidak makan/ minum berlebih-lebihan
- Tidak membuang kotoran
- Tidak bertengkar/ berkelahi
- Tidak berbicara keras/ memaki, memfitnah atau membicarakan keburukan orang lain.
- Tidak bersedih, menangis/ meratap.
4. FUNGSI PURA DAN SANGGAH PAMRAJAN
Selain
sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan
berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
- Pemelihara persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
- Pemelihara dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral, kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dll.
- Pendorong pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dll.
- Pengembangan kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dll.
- Pendorong kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
5. ODALAN
Odalan
berasal dari kata “Wedal” atau lahir; hari Odalan = hari wedal = hari lahir =
hari di-stanakannya Ida Bethara di Pura dan Sanggah Pamrajan. Yang menjadi
patokan adalah hari upacara Ngenteg Linggih yang pertama kali.
Istilah
lain yang digunakan untuk hari Odalan adalah hari: Petirtaan (karena di saat
itu kepada Ida Bethara disiratkan tirta pebersihan dan dimohonkan tirta
wangsuhpada), Petoyaan (sama dengan Petirtaan), Pujawali (karena di saat itu
diadakan pemujaan “wali” = kembali di hari kelahiran = wedal).
Hari-hari
menurut pawukon yang digunakan sebagai hari odalan (enam bulan sekali) adalah:
- Buda Kliwon: Sinta, Gumbreg, Dungulan, Pahang, Matal, Ugu
- Tumpek: Landep, Wariga, Kuningan, Krulut, Uye, Wayang.
- Buda Wage: Ukir, Warigadean, Langkir, Merakih, Menail, Klawu
- Anggarakasih: Kulantir, Julungwangi, Medangsia, Tambir, Prangbakat, Dukut.
- Saniscara Umanis: Tolu, Sungsang, Pujut, Medangkungan, Bala, Watugunung.
Susunan
upacara Ngaturang Piodalan adalah sbb.:
- Mapiuning di Sanggah Pamrajan bahwa akan ngaturang Piodalan
- Macaru, bersamaan dengan Newasain/ Nanceb tetaring
- Nuwur tirta ke Pura-Pura lain menurut tradisi
- Nedunang pratima-pratima Ida Bethara
- Mamendak Ida Bethara
- Makalahias
- Ngewangsuh dan masucian
- Ngadegang Ida Bethara
- Ngaturang Piodalan, pemuspaan
- Nyineb Ida Bethara
- Masidakarya
- Makebat don
6. MLASPAS
Mlaspas
asal kata dari “paspas” artinya membersihkan atau membuang yang tidak perlu; di
sini dimaksudkan bahwa bahan-bahan yang digunakan sebagai palinggih: batu,
pasir, semen, besi, kayu sudah ditingkatkan statusnya, tidak lagi bernama
demikian, tetapi sudah menjadi satu kesatuan dengan nama palinggih.
Sebelum
upacara mlaspas, untuk bangunan baru, diadakan upacara:
- Memangguh: asal kata: “pangguh” = menemukan tanah baru yang sesuai.
- Memirak: asal kata: “pirak” = nebus-menebus di niskala kepada Sedahan Karang/ Carik pemilik tanah pekarangan semula.
- Nyikut karang: mengukur panjang/ lebar karang yang akan digunakan sebagai lokasi pelinggih dengan berpedoman pada asta bumi dan asta kosala-kosali.
- Macaru asal kata dari “car” = harmonis, yaitu menciptakan keharmonisan antara Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit sesuai dengan konsep Tri-Hita-Karana (tiga penyebab kesempurnaan)
- Ngararuwak asal kata “wak” = membuka, yaitu membongkar tanah untuk pondasi
- Mendem dasar dengan batu tiga warna (merah merajah “Ang”=Brahma, hitam merajah “Ung”= Wisnu, putih merajah “Mang”=Siwa)
- Mamakuh asal kata “bakuh” = kuat; mengokohkan pondamen, bangunan lanjutan, sendi-sendi, paku-paku, atap dll.
- Ngurip asal kata “urip” = hidup; menghidupkan bangunan dengan mohon restu Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai Brahma (tetoreh warna merah – di atas), Siwa (tetoreh warna putih – di tengah), dan Wisnu (tetoreh warna hitam – di bawah).
- Mendem pedagingan; asal kata “daging” = isi = jiwa bagi palinggih, yaitu Pancadatu, bersamaan dengan memasang Orti, asal kata orta = berita, mengandung simbol agar karya di Sanggah Pamrajan menjadi berita seketurunan, dan memasang Palakerti, asal kata Pala = pahala, Kerti = perbuatan, mengandung simbol buah perbuatan yang patut menjadi contoh bagi keturunan berikutnya. Selanjutnya memasang Bagia, asal kata bagia = landuh = makmur, mengandung simbol mohon kemakmuran kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Pada waktu mendem pedagingan semua keluarga agar menyiapkan takir berisi: kalpika, bija, jinah sesari dengan maksud agar dikaruniai umur panjang (kalpika), kemakmuran (bija) dan hasil kerja yang baik (sesari).
- Memasang ulap-ulap; asal kata ulap = panggil. Simbol ulap-ulap maksudnya memohon kehadiran Ida Bethara agar berstana di palinggih yang sudah disiapkan.
Setelah
itu barulah dilaksanakan upacara melaspas, dan seterusnya Ngenteg Linggih.
7. TATA CARA DAN UPACARA MEMUGAR PURA DAN SANGGAH PAMERAJAN
1.
Tahap Pertama (membongkar bangunan lama dan meletakkan batu pertama):
- Mareresik
- Mapiuning
- Macaru Pancasata
- Ngadegang Ida Bethara di Daksina linggih
- Maguru Piduka
- Mlaspas dan masupati batu papendeman
- Masupati trisarana (takir berisi: kalpika, beras, jinah)
- Ngingsirang Daksina linggih ketempat darurat (asagan)
- Mralina palinggih-palinggih lama yang akan dibongkar
- Ngereruak pondamen palinggih-palinggih lama
- Mendem batu papendeman, takir caru, dan takir trisarana
- Persembahyangan
- Dharma Wacana tentang: 1] Pura dan Sanggah Pamerajan. 2] Baberatan preti sentana.
2.
Tahap Kedua (mlaspas):
- Mareresik
- Mapiuning
- Macaru Resi Gana
- Mlaspas dan masupati pedagingan, bagia/ orti/ palakerti, ulap-ulap
- Memakuh palinggih-palinggih
- Maurip-urip palinggih-palinggih
- Mlaspas palinggih-palinggih
- Mendem pedagingan dan memasang bagia/ orti/ palakerti/ ulap-ulap
- Ngambe-ulap
- Nuntun Ida Bethara ke Palinggih-palinggih baru.
- Ngaturang ayaban, pemuspaan, Dharma wacana
Demikianlah
sekelumit tentang Pura dan Sanggah Pamerajan.
Related
posts:
- Pura atau Sanggah Pamerajan Pakai Atap?
- Renovasi Pura/ Sanggah Pamerajan
- Sanggah Pamerajan – Seri II
- Pura Kahyangan Tiga dan Pelinggih Prajapati
- Sanggah Alit
Rangkaian
UpacaraNgenteg Linggih
Rangkaian upacara Ngenteg
Linggih, dapat dilihat dari tahapan-tahapan upacara yang dilaksanakan.
Tahapan upacara Ngenteg Linggih dapat
dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu :
(1)
Ngaturang Piuning, adalah persembahan
yang bertujuan (nyatiang) memberi
tahu akan ngaturang karya kepada Ida Bhetara yang akan katuran Upacara Ngenteg
Linggih di Pura Kahyangan Desa,, (2)
Upacara Pengalang Sasih, Negteg,
Ngunggahang Sunari, adalah awal dari mulai mengerjakan sarana upakara,
menyucikan bahan-bahan upakara dan
menancapkan sunari,, (3) upacara Rsi Gana, Melaspas dan Mendem
Pedagingan, adalah bertujuan membersihkan tempat yang akan dipakai
pelaksanaan Ngenteg Linggih dan
menanam Panca Datu sebagai dasar
pelinggih,(4) Nuur Bhatara Tirta,
yaitu upacara yang bertujuan untuk nuur
Bhatara Tirta yang akan dipergunakan muput dan upasaksi upacara yang akan dilangsungkan,(5) Mepepada dan Melaspas Bagia
Pula Kerthi Agung, yaitu upacara yang bertujuan membersihkan dan nyatiang hewan yang akan dipergunakan
untuk sarana upakara, serta ngurip
(menghidupkan) Upakara Bagia Pula Kerthi
Agung, (6) Melasti atau Mekiis, yaitu upacara yang bertujuan
memandikan (nyuciang) Ida Bhatara yang akan melaksanakan (katuran) Ngenteg Linggih, (7) Ngenteg Linggih, Mepeselang dan Pedanaan, yaitu upacara menstanakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya pada tempat yang telah disucikan dengan mempersembahkan Panca Datu dan Pemereman, serta Ngredana
Merta di Peselang untuk
dianugrahkan kepada pedekan/permas
beliau tersebut, (8) Mekebat Daun dan
Mangun Hayu, yaitu upacara yang
bertujuan untuk membuka, membangun keinginan, tujuan dan harapan serta
menumbuhkan kesejahteraan, kedamaian dan keselamatan., (9) Ngebekin, Nyenuk dan
Nyineb, yaitu upacara penghayatan
atas apa yang sudah dilakukan dan melepaskan diri dari keterikatan, dengan
jalan mempersembahkan segala sesuatu yang dimiliki sebagai sarana upakara dan
upacara, serta mengembalikan (ngaturin)
beliau agar kembali ketempatnya masing-masing dengan menutup (nyineb) upacara yang telah dilaksanakan, (10) Ngeraga Gunung, yaitu upacara yang dilaksanakan di Gunung dan di
Laut untuk menghaturkan puji syukur kepada Sang
Hyang Purusa Predana (rwa bineda)
agar memperoleh keharmonisan dan keseimbangan (Ida Pedanda Putra wawancara
tanggal 15 Juni 2008).
Melihat uraian di atas bahwa rangkaian pelaksanaan upacara
yadnya yaitu Upacara Ngenteg Linggih
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan, semua saling
keterkaitan dan saling mendukung, sehingga proses pelaksanaannya berjalan
lancar.
i. UpacaraMekebat Daun
Mekebat Daun berasal dari dua suku kata, yaitu :
“Mekebat dan Daun. Mekebat dari akar kata kebat
memiliki arti atau makna terbuka, membuka dan memperluas.Daun dalam bahasa Bali berarti don,
don dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno)
berarti Tujuan harapan dan keinginan” (Wijayananda, 2005 : 56).
I Gusti Mangku (Wawancara 14 Juni 2008) menyatakan bahwa
upacara Mekebat Daun adalah merupakan
suatu upacara keagamaan dalam upacara Dewa Yadnya yaitu sebagai eedan (rangkaian) upacara Ngenteg
Linggih untuk membuka dan memperluas
tujuan dari pada pelaksanaan upacara yang harus dibayar kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atau para dewa yang disebut dengan Dewa Rna.
III INDIK
KARYA AGUNG MAMUNGKAH DAN NGENTEG LINGGIH
A. PERIHAL YADNYA
Dasar ajaran agama Hindu terdiri
dari filsafat, tata susila, dan upakara.Ketiga
dasar pokok ajaran tersebut merupakan kesatuan yang saling mengisi,
menyempurnakan pelaksanaan hidup sehari-hari masyarakat Hindu di Bali. Hidup dan kehidupan masyarakat Bali selalu
berkaitan dengan Yadnya.Umat Hindu Bali umumnya dipengaruhi upakara (Ritual).
Namun demikian, menghayati filsafat dan susila agama sangat perlu, guna
meningkatkan penghayatan terhadap makna Yadnya, untuk memupuk kesadaran yang
lebih tinggi dan mulia dalam hidup bermasyarakat serta bhakti kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, maupun para leluhur.
Para peneliti yang kurang cermat
akan melihat hidup ini sebagai proses yang tak henti-hentinya, dari makan,
minum, bekerja mengumpulkan materi dan tidur. Tetapi sesungguhnya hidup ini
mengandung arti yang sangat luhur, mempunyai makna yang sangat dalam, bahwa
hidup ini sesungguhnya adalah sebuah Yadnya (persembahan atau kurban
suci yang tulus ikhlas kepada Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa).Setiap
perbuatan bagaimana kecilnya, adalah suatu persembahan kepada Tuhan bila
dilaksanakan dengan hati yang suci, tulus dan ikhlas.Bilamana hari-hari dalam
kehidupan ini diisi dengan perbuatan yang didasari penyerahan diri, maka tidur
adalah Samadi.
Secara filosofis, yadnya
dimaksudkan untuk mengingatkan setiap individu secara konstan bahwa seluruh
hidupnya harus diarahkan pada kurban suci, dimana spirit yadnya melandasi
setiap perbuatannya. Yadnya diciptakan pada awal penciptaan alam semesta
melalui “Mana”. Manusia mencapai segala keinginannya (Bhagavadgita III
: 9, 10) yadnya menyimbolkan suatu penjelajahan dan pendakian spiritual untuk
menyatukan potensi atau kekuatan yang bersifat Sattwik (sattvikam yadnya) yang
ada dalam diri manusia sesuai dengan kodratnya. Yadnya merupakan aktivitas
bersama, bukan aktivitas personal secara material, sehingga yadnya
menjadi sumber kehidupan sosial yang harmonis.Jadi pada tatanan sosial, yadnya
merupakan sebuah ritualisasi kehidupan masyarakat.
Kata yadnya berasal
dari kata sansekerta yaitu “YADN” yang berarti memuja, menyembah,
berdoa, dan kurban suci.Pemujaan atau penyembahan ditujukan kepada jiwa yang
lebih tinggi derajatnya seperti Tuhan dan para Dewa.Kurban suci yang ditujukan
kepada spirit-spirit atau makhluk yang lebih rendah yang memiliki sifat yang
baik maupun yang memiliki sifat buruk.Di samping itu yadnya bukanlah
semata-mata bersifat ritual, tetapi juga tindakan atau kerja simbolis yang
dipahami sebagai suatu konsep dalam rangka membuka jalan sublimasi
diri.Bukanlah berlebihan jika dikatakan bahwa yadnya adalah representasi
filsafat Weda. Yadnya mempunyai tiga tujuan pokok yakni untuk :
- Menjemput semua anugerah atau karunia atas umat manusia dan seluruh makhluk hidup dengan pertolongan dewa-dewa.
- Mengantarkan kita mendekati dunia Niskala dan kehidupan yang berbahagia dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
- Mencapai kebahagiaan abadi. Apabila yadnya dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas tanpa suatu keinginan apapun untuk meraih buah atau hasilnya dan benar-benar dilakukan dengan ketidak-melekatan, maka yadnya akan mengantarkan orang pada pencapaian mental yang sempurna, menghantar seseorang pada jalur kebajikan, dan pada akhirnya kebahagiaan abadi atau tyaga/ kelepasan (Moksha).
Di samping itu yadnya juga
meningkatkan kualitas kemanusiaan kita melalui kekuatan-kekuatan dewa-dewa. Di
antara masyarakat rumpun bangsa Arya (Indo-Eropa),
persembahan-persembahan tersebut dan upacaranya dilaksanakan dengan api sebagai
media. Gejala ini juga dapat ditemukan pada orang-orang Yahudi dan Romawi Kuno
di Benua Eropa, orang-orang Avestik (orang-orang Iran Kuno asal mula
orang-orang Persia Modern yang ada di India), dan orang-orang penganut paham Weda
yang sekarang dikenal dengan nama orang Hindu.
B. KARYA
AGUNG MEMUNGKAH DAN NGENTEG LINGGIH
Setiap persembahan
(upakara/yadnya) yang dilaksanakan oleh umat Hindu, dari tingkat yang paling
kecil hingga tingkat yang paling besar (nista, madya, utama), selalu
berdasarkan ajaran Weda dan berpijak pada sastra agama.
Upacara Memungkah di
Grhya Jero Gede Sanur dilaksanakan berkaitan dengan pemugaran Pamerajan Agung
Grhya Jero Gede Sanur (perbaikan secara menyeluruh setelah melewati masa 50
tahunan lebih) yang tampak seperti membangun Pamerajan baru. Oleh karena
terjadi rehab total, maka perlu ada upacara Memungkah (Pemungkah)
dengan segala rangkaian upacaranya. Dalam Kitab Suci/Pustaka Suci Hindu di
Bali, berupa Lontar-Lontar, antara lain “Pawarah Ida Bhagawan Agastya,
ada tiga hal perbuatan yang akan mendapatkan/memperoleh Sorga, yaitu :Tapa,
Yadnya dan Kirti.Tapa adalah mengekang hawa
nafsu dasendrya.Yadnya adalah upacara-upakara, tiada
lain menjalankan sraddha dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan segala
manifestasi-Nya termasuk kepada para leluhur (tarmalupeng pitra puja),
dan Kirti adalah kemauan umat dalam hal ini Keluarga Besar
Grhya Jero Gede Sanur dalam usaha membangun/memperbaiki sarana prasarana di
dalam kehidupan ini untuk mewujudkan suasana kondusif dalam berkeluarga menyama
braya dan bermasyarakat agar memperoleh kebahagiaan lahir bathin.
Karena ini merupakan proses
pembangunan atau pemugaran sepelebahan tempat suci atau Pamerajan
dengan unsur-unsur struktur pelinggih, menyadari apa yang didapat sekarang ini
adalah berkat anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para leluhur, maka seluruh
Keluarga Besar Grhya Jero Gede Sanur sepakat ngayum tetangunan
Pamerajan Agung dan Pamerajan Luhur, lanjut melaksanakan yadnya :Karya
Agung Memungkah dan Ngenteg Linggih di Pamerajan Agung Grhya Jero Gede Sanur.
C. URAIAN PERIHAL
EED KARYA
Untuk lebih menghayati jalannya
upacara perlu kiranya diketahui sekilas tentang makna atau arti rangkaian
upacara sebagai berikut :
Upacara Matur Piuning
Upacara ini dilaksanakan di
seluruh pamerajan di masing-masing Grhya Keluarga Besar Grhya Jero Gede Sanur
dan pura-pura lainnya. Upacara matur piuning ini dalam ungkapan bahasa
domistik (ketah bawos), merupakan permakluman kehadapan Ida Sanghyang
Widhi dan Bhatara-Bhatari Samodaya, untuk melaksanakan Karya Agung Memungkah
dan Ngenteg Linggih agar diberikan wara nugeraha oleh Ida Bhatara-Bhatari
Samodaya tuntunan, dan jalan yang rahayu, sehingga Karya Agung Memungkah dan
Ngenteg Linggih dapat terlaksana dengan baik, sekala maupun niskala.
Sebuah uraian dalam Siwatattwa
yaitu dalam Lontar Jnanasiddhanta, mengatakan Ida Sanghyang Widhi dengan
seluruh prabhawanya sebagai berikut :
‘Ekatwanekatwa swalaksana
Bhattara.Ekatwa ngaranya kahidep makalaksana ng Siwatattwa. Ndan tunggal, tan
rwatiga kahidepanira. Mangekalaksana Siwa karana juga, tan paprabheda. Aneka
ngaranya kahidepan Bhattara makalaksana caturdha. Caturdda ngaranya laksananira
sthula suksma parasunya’
- sifat bhattara adalah eka dan
aneka. Eka (esa) artinya IA dibayangkan bersifat Siwatattwa, IA hanya Esa,
tidak dibayangkan dua atau tiga.IA bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa
sebagai mahapencipta), tiada perbedaan.Aneka artinya bhattara dibayangkan
bersifat caturdha artinya adalah sthula suksma para sunya.
Di samping itu, upacara ini juga
ditujukan kepada setiap insan yang akan menyelenggrakan yadnya agar perjalanan
yadnyanya baik, lancar, rahayu sesuai dengan bunyi Lontar Dewa Tattwa yaitu :‘….
Anakku sang para Mpu Danghyang, sang mahyun twa
janma, luputing sangsara papa kramanya sang kumingkin akarya sanista, madhya,
uttama : manah lega dadi ayu, aywa ngalem drawya mwang kumutug kaliliraning
wwang uttama, aywa mangambekang krodha mwang ujar gangsul, ujar menak juga
kawedar denira. Mangkana kramaning sang ngarepang karya, aywa simpanging budhi
mwang krodha, yan kadya mangkana patut pagawenya, sawiddhi widananya, tekeng
ataledannya mwang ring sasayutnya, maraga dewa sami tekeng wawangunan sami …’ …
kayatakna, aywa saulah-ulah lumaku, ngulah subal, yan tan hana bener anut
linging aji, nirgawe pwaranya, kawalik purihnya ika, amerih ayu byakta
matemahan ala. Mangkana wenang ika kapratyaksa de Sang Anukangi,
Sang Andisakni, ika katiga wenang atunggalan pangelaksana nira
among saraya karya. Aywa kasingsal, apan ring yajna tan wenang kecacaban,
kecampuhan manah weci, ambek branta, sabda parusya. Ikang manah sthiti nirmala
juga maka siddhaning karya, marganing amanggih sadya rahayu, kasidaning panuju
mangkana kengetakna, estu phalanya …
Ngawit Karya
Mulai membuat jajan (mekarya
sanganan), Nanceb sesalon dan mepasang Sunari serta
membuat seluruh bangunan upacara seperti :sanggar tawang, surya, panggungan
dan membangun tetaring. Mepasang Sunari untuk mengundang
Sang Rare Angon dan para Bidadari (Widiadara-Widiadari)
merupakan Dasa Nama Dewa Siwa. Mapasang Sunari erat kaitannya
dengan upacara Negtegang Pedagingan, Ngingsah dan Mekarya Sanganan
Suci.
Sunari, yang juga
disebut Buluh Perindu, memiliki suara yang amat menarik karena enak
didengar.Sunari ini juga merupakan Nyasa Wina, untuk
mengundang para Widiadara-Widiadari, atau mengundang ilmu
pengetahuan baik Pengayah Lanang maupun Istri dalam kegiatan
mengerjakan perlengkapan upakara agar selalu berdasarkan ilmu pengetahuan (Kepradnyanan)
yang dianugerahkan para Widiadari-Widiadari. Widiadara-Widiadari ini
adalah iringan Dewa Rare Angon Abhiseka salah satu Dasa Nama Dewa Siwa
yang dalam hal ini abhiseka Dewa Siwa Guru yang mengajarkan semua ilmu
pengetahuan kepada semua para Dewa termasuk kepada umat manusia sendiri. Rare
Angon sering diterjemahkan sebagai anak penggembala yang dimaksud
dalam hal ini adalah Dewa Siwa yang berwahana lembu.
Dewa Siwa mengarahkan manusia
agar berjalan ke arah Dharma yang Lempeng.Dewa Siwa disebut juga Siwa Guru.
Kata “Guru” (dalam Sansekerta Jawa Kuno) yang terdiri dari suku
kata “GU” dan “RU”. GU artinya
melenyapkan.RU artinya kegelapan.Sehingga kata “GURU”
berarti melenyapkan kegelapan pikiran para pengayah dalam kegiatan ngayah
Yadnya diganti dengan pikiran yang terang dan suci selaras dengan tuntunan Sang
Anangun Karya Yadnya dan Sang Adruwe Karya.
Nuwasen
Pada hari ini Tukang Banten atau Ida Pedanda Istri, Wiku Tapini
mulai membuat Jajan Catur yang akan dipersembahkan kehadapan Sang
Hyang Widhi, dalam prabawa-Nya Dewata Dewa Catur Loka Pala, yakni : Brahma,
Wisnu, Mahadewa dan Iswara. Pada hari ini pengayah istri membantu (ngerombo)
sesuai dengan petunjuk Ratu Pedanda Istri Tukang atau Wiku Tapini.
Ngentegang (Negtegang
Pedagingan)
Negtegang Pedagingan adalah
upacara untuk memohon keberhasilan dan kesuksesan, seluruh bahan atau material
yang akan digunakan untuk upakara karya piodalan. Pada hari ini diselenggarakan
pelaksanaan Mecaru Ayam Amanca, yang merupakan pemarisudha, agar areal
upacara bebas dari gangguan kelabilan kekuatan alam yang diwujudkan sebagai
pemurtian sang Panca Kala yakni : Bhuta Petak ring Purwa, Bhuta
Abang ring Daksina, Bhuta Jenar ring Pascima, Bhuta Ireng ring Utara, dan Bhuta
Brumbun ring Madyama.
Upacara Memungkah
Upacara Memungkah ini
berkaitan dengan adanya Pemugaran Pamerajan (perbaikan secara menyeluruh)
sehingga nampaknya seperti membangun peleban pamerajan baru.
Upacara Ngingkup
Upacara Ngingkup bertujuan mempersatukan unsur Sekala dan Niskala,
agar Ingkup atau Wahya dan Adiatmika, bersatu secara
utuh, sehingga terwujud keselarasan, keharmonisan, keseimbangan antara unsur
Hyang Widhi dengan seluruh manifestasi-Nya, yang bersthana di tempat suci
bersangkutan. Upacara Ngingkup ini erat rangkaiannya dengan
pelaksanaan pemugaran suatu pamerajan secara fisik selesai dibangun dilanjutkan
dengan proses upacaranya dari upacara Memungkah, Melaspas, dan Makebat
Daun, untuk menjadikan seluruh areal Pamerajan utuh secara spiritual
sehingga pembangunan fisik areal Pamerajan menjadi ingkup, secara
material dan spiritual.
Upacara Melaspas
Upacara Melaspas bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari
kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para
Dewata/Bhatara-Bhatari berkenan melinggih di Pura setiap saat terutama pada
saat dilangsungkan upacara pujawali, sedangkan untuk membersihkan/mensucikan
areal pamerajan secara niskala dilaksanakan upacara pecaruan.
Pelaksanaan pemelaspas tergantung tingkatannya, mem-perhatikan kedudukan
Pamerajan, ditentukan berdasarkan petunjuk para Pedanda sebagai Sang
Yajamana, dikaitkan dengan adat setempat, yang telah berlangsung sejak
dahulu agar pelaksanaan upacara menjadi lebih sempurna dan tepat.
Upacara Mendem
Pedagingan
Upacara Mendem Pedagingan sebagai lambang singgasana Ida
Bhatara-Bhatari yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara
satu pelinggih dengan pelinggih lainnya tidak sama, tergantung jenis bangunan
pelinggih, termasuk jenis bebantennya.
Upacara Memben Banten
Upacara Memben Banten
sekaligus termasuk upacara pemelaspas adalah upakara sebagai sedana bhakti yang
dipersembahkan pada puncak karya (murdaning karya).
Mecaru Rsi Gana (Bhuta
Yadnya)
Pengertian Caru Rsi Gana adalah Caru, dalam bahasa Sansekerta berarti manis.
Sedangkan persepsi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali, caru adalah
korban untuk kepentingan yang lebih besar.Dalam praktik, caru memang berupa
binatang seperti ayam, itik, dan lain-lain.Suatu pengorbanan yang dilandasi
itikad baik untuk kepentingan jagad, dan dapat dikatakan sebagai pengorbanan
suci. Jadi, caru adalah pengorbanan suci untuk mewujudkan alam, lingkungan,
serta kehidupan yang manis dalam arti harmonis, seimbang dan serasi sehingga
menimbulkan rasa indah membahagiakan. Rsi Gana adalah nama Dewa yang disucikan
dalam Agama Hindu. Dalam Lontar Siwa Gama diceritakan bahwa Dewa Gana juga
disebut Ganesa.Mecaru Rsi Gana adalah persembahan untuk menetralisir kekuatan
alam yang dapat mengganggu areal pemujaan.Gana adalah putra Siwa dengan
sakti-Nya Dewi Parwati yang berfungsi sebagai Dewa Pemusnah rintangan. Dalam
dasa nama, Dewa Gana disebut juga Awigneswara (Raja Pemusnah
Rintangan). Caru Rsi Gana bukan caru yang dipersembahkan kepada Dewa
Gana, tetapi Bhuta kala.Dewa Gana dimohon kehadiran serta anugerah-Nya untuk
mengubah kekuatan Bhuta Kala, yang cenderung merusak, menjadi kekuatan welas
asih, yang melindungi serta memberikan kebahagiaan. Salah satu mantra
pengastawa Sang Hyang Gana berbunyi :
Sarva visa vinasanam,
kala drngga-drnggi patyam, parani rogani murcchantam, trivistapopajivanam.
- semua racun (penyebab penyakit)
menjadi netral, yang angker-angker hilang, setiap penyakit yang disentuh lenyap
serta memasukkan kekuatan yang melindungi jiwa.
Demikianlah persembahan caru Rsi
Gana tujuan spiritualnya untuk memusnahkan seluruh bentuk dan jenis rintangan.
Upacara Mendak Tirta
Upacara Mendak Tirta disebut
juga Nuwur Ida Bhatara Tirtha, mengundang prabawa Hyang Widhi dalam wujud
sebagai manifestasi (ista dewata) yang melingga di pura-pura kahyangan
jagat di Bali dan Jawa.
Upacara ini bertujuan memohon
tirtha di pura-pura kahyangan jagat Bali, sebagai manifestasi (dewata)
yang diundang untuk disthanakan (kajejeran ring sanggar tawang) dalam
persembahan pemujaan Karya. Untuk itulah pada saat menyelesaikan
seluruh eed karya seyogyanya mengadakan Tirtayatra ke
tempat-tempat / pura-pura yang tirtanya dituhur / dipendak sebagai wujud rasa
syukur atas terselesaikannya yadnya yang diselenggarakan.
Upacara Nedunan Ida
Bhatara (Dewa Yadnya)
Dalam pelaksanaan upacara ini secara skala (kenyataan) para pemangku merias
pratima, jempana setelah dikeluarkan dari gedong penyimpenan (nedunan)
untuk mempersiapkan upacara, pengawin lelontek, umbul-umbul duwen Ida
Bhatara yang diperlukan untuk upacara melasti keesokan harinya.
Bagia Pula Kerthi
Pemelaspas, Pemendakkan
dan Penanaman Bagia Pula Kerthi mempunyai makna setiap pekerjaan yang
baik (misalnya melaksanakan yadnya ataupun perbuatan lain yang tanpa pamerih,
yaitu Kerthi) pasti lambat laun atau cepat akan membuahkan
kebahagiaan.
Dengan cara menanamkan di tempat
suci akan memberikan kebahagiaan suci, spiritual dan material bagi
lingkungannya. Ini juga mengarahkan agar mereka yang ada dalam lingkungan itu
giat bekerja bersama-sama dengan hati yang tulus. Tanpa bekerja yang tulus (Kerthi)
tidak mungkin akan membuahkan kebahagiaan.
Upacara Melasti (Dewa
Yadnya)
Upacara Melasti juga
disebut Mekiyis atau Mekekobok ke segara.Di dalam lontar
Sundarigama disebutkan bahwa tujuan upacara ini adalah nganyudang malaning
miring gumi, angemet merta ring telaning segara (menghanyutkan kekotoran dan
mendapatkan air kehidupan (amertha) dari tengah laut).Pada hari ini
juga dilaksanakan persembahan dan pemujaan Tawur Sapta Rsi.Wiku pamuput
pemujaan dan persembahan Tawur Sapta Rsi, sesuai dengan istilah Tawur
Sapta Rsi itu pemuputnya terdiri dari Tujuh Rsi atau Pedanda.
Tujuan utama upacara ini
adalah memohon “sarining amertha kamandalu” yaitu mohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa, sari-sari kehidupan sebagai sumber kebahagiaan lahir dan
bathin.
Di samping itu upacara melasti
itu melambangkan penyucian segala alat-alat perlengkapan upacara dan penyucian
sepanjang jalan yang dilalui upacara Melasti itu.
Upacara ini menggunakan penawaratna
yang berkaitan dengan sanggar tawang tempat ngadegang Hyang
Parama Siwa dan sesuai dengan tingkat caru yang dipersembahkan, memakai sarana
kerbau dan binatang lainnya.
Upacara Tawur (Bhuta
Yadnya)
Upacara ini tujuannya
meningkatkan dan mempermulia segala isi alam dari yang negatif agar menjadi
positif untuk keseimbangan ekosistem. Sebab dalam alam yang ekosistemnya
seimbang itulah manusia akan memperoleh kehidupan yang bahagia lahir bathin.
Di samping itu kekuatan-kekuatan
roh yang negatif dapat dimulyakan sehingga tidak mengganggu kehidupan spiritual
manusia, bahkan sebaliknya dapat membantu manusia dalam kehidupannya (bhuta
ya, dewa ya).Mengorbankan binatang yang sedang disayangi adalah lambang
keikhlasan manusia untuk mengabdi kepada alam, karena manusia telah banyak
mendapat kehidupan dari alam ini.
Dengan mengorbankan binatang
yang disayangi berarti melepaskan ikatan sifat-sifat keraksasaan, keserakahan
manusia. Kalau dunia ini dihuni oleh manusia-manusia yang serakah, yang tidak
pernah ikhlas berkorban, alam ini serta kehidupan manusia akan bahaya dan akhirnya
sengsara.
Melenyapkan keserakahan dengan
menumbuhkan rasa ikhlas itulah arti dan makna upacara Tawur.Menggunakan
binatang-binatang yang sulit didapat adalah lambang kesungguhan hati,
melestarikan dan mempermulya segala unsur alam demi kehidupan manusia.
Pelaksanaannya harus dengan
kesungguhan hati, baik memohon kehadapan Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam
usaha-usaha konkrit seperti melindungi sumber-sumber air, menjaga kelestarian
tumbuh-tumbuhan di hutan, di ladang, di sawah dan lain-lainnya. Menjaga
kesuburan tanah dan memelihara binatang yang amat dibutuhkan dalam hidup ini
adalah tujuan Tawur.Upacara ini juga menggunakan penawaratna,
berkaitan dengan sanggar tawang tempat ngadegang Hyang Parama
Siwa dan sesuai dengan caru yang dipersembahkan yang memakai sarana kerbau dan
binatang lainnya.
Sate Tungguh/Sate
Tegeh/Gayah
Sate Tungguh, atau yang
lainnya, dipakai dalam rangkaian Bhuta Yadnya. Sate Tungguh (Tegeh)
merupakan perkembangan banten Bebangkit. Bebangkit adalah simbol energi.Tetapi,
Sate Tungguh adalah energi yang masih bersifat negatif, yang kemudian
menjadi positif setelah diberikan puja mantra oleh Ida Pedanda dengan diberi
laba caru yang ada di bawahnya.Karena masih bersifat Negatif maka sarananya
dibuat dari daging babi.Daging babi dalam agama Hindu bersifat tamas,
yaitu negatif. Atribut-atribut penting dalam Sate Tungguh ini antara
lain berbentuk sate babi dalam berbagai hitungan menurut kiblat penguasa
penjuru angin, yaitu Dewa Nawa Sanga dengan segala macam senjatanya.
Ada berbentuk daging jejaring, isin jeroan babi, kober (bendera), payung dan
lain-lainnya yang menggambarkan isi bhuhloka (Mayapada) yang bersifat Tamas
(negatif).
Pregembal/Sarad
Pregembal, atau yang
terbesar, disebut Sarad.Wujud upakara ini bersifat sattwam
(positif) diletakkan berdampingan dengan Sate Tungguh, menggambarkan
unsur negatif dan positif senantiasa berdampingan dalam kehidupan.Sebagaimana
aliran listrik untuk menerangi lingkungan.Karena bersifat sattwam (positif),
maka bahannya pun harus bersifat demikian, yaitu beras yang dijadikan tepung
dengan warna-warna tertentu.Tepung berwarna itu, dibentuk kedalam
bermacam-macam misalnya wujud berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia
(Cili), Planet, Bidadari, dan lain-lainnya yang menggambarkan isi alam
semesta.Bentuk keseluruhannya adalah bentuk gunung.Gunung adalah simbol
kesucian, sekaligus pusat orientasi kerahayuan (kemakmuran). Semua isi
gunung tercermin di dalam Pragembal, sebagai simbul Bhuana
Agung. Ditambah lagi dengan bentuk senjata-senjata Dewa Nawa Sanga untuk
mengimbangi persenjataan Sate Tungguh.
Sate Tungguh
sampai Gayah didampingi Pragembal sampai Sarad,
merupakan simbol keseimbangan kehidupan yang menciptakan kebahagiaan, yaitu Tri
Hita Karana. Hal ini merupakan harapan agar manusia mengerti dan hidup
seimbang spiritual dan material. Dengan hidup spiritual dan material secara
seimbang maka hidup manusia akan mapan.
Upacara Mapedanan (Manusa
Yadnya)
Upacara ini, dilaksanakan dengan
cara berjalan beramai-ramai merebut benda-benda di “Pedanan”.
Merupakan lambang untuk melepaskan diri pribadi dari sifat-sifat yang tidak
baik.Segala sifat tidak baik, itu disalurkan ke dalam upacara dengan
benda-benda di Pedanan, diharapkan sifat-sifat yang negatif yang
melekat pada diri pribadi masing-masing hilang lenyap sehingga manusia menjadi
suci ikhlas, tidak serakah. Di samping itu ada unsur “Dana Punia” yang
diberikan kepada orang-orang lain diluar keluarga yang melakukan upacara
Pedanan ini atau Keluarga Besar Grhya Jero Gede Sanur. Mereka dari keluarga yang
bersangkutan tidak boleh ikut berebut suatu apapun.Mereka harus mementingkan
orang-orang diluar lingkungannya.
Upacara Mapepada
(Bhuta Yadnya)
Tujuan utama upacara ini adalah
menyucikan secara ritual binatang-binatang yang akan dijadikan kurban secara
lahir bathin. Karena itu, binatang diupacarai dengan “Sesaji Biyakala”,
lambang lahiriah dan “Upacara Prayascita” lambang penyucian rohaniah.
Sesudah itu dilakukan upacara Mejaya-jaya, lambang permohonan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan agar roh hewan yang akan dijadikan kurban
mendapat tempat yang layak sesuai dengan fungsinya sebagai binatang kurban
untuk tujuan yang suci. Terakhir dilakukan upacara Daksina yaitu
keliling tiga kali dari timur ke selatan yang melambangkan bahwa upacara ini
benar-benar menuju kesucian. Berputar tiga kali ke kanan sebagai jalannya jarum
jam adalah lambang menuju jalannya Tuhan.
Upacara Ngenteg Linggih
(Dewa Yadnya)
Ngenteg Linggih
merupakan rangkaian upacara paling akhir dari pelaksanaan upacara Pamungkah.Secara
etimologis, Ngenteg Linggih (Menetap Linggih) berarti menobatkan /
mensthanakan. Jadi Ngenteg Linggih adalah upacara Penobatan /
Mensthanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada pelinggih yang
dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat, terutama saat segala
kegiatan upacara di Pemerajan atau Pura dilangsungkan.
Upacara Makebat Daun
Persembahan dan pemujaan pada
hari puncak karya ini adalah Upacara Makebat Daun.Sesuai dengan
sebutan “Makebat Daun” berarti membentangkan sehelai daun.UpacaraMakebat
Daun ini harus dilakukan bersamaan dengan rangkaian upacara Pemelaspas
dan Ngenteg Linggih.Inilah puncak proses penyucian pembangunan
Pamerajan setelah pemugaran dengan unsur-unsur dan struktur pelinggih.
Untuk betah tinggal (Enteg
Melinggih) setelah upacara Melaspas patut dipersiapkan sehelai
tikar ataupun alas.Inilah puncak hakekat daun itu sehingga Pamerajan sebagai
Isthana Hyang Widhi Wasa, dalam manifestasi-Nya, menjadi utuh.
Upacara Bhatara Tedun ke
Peselang (Peselang = Pinjaman)
Upacara Ida Bhatara Tedun ke
Peselang adalah Yasa Petemon Hyang Widhi dalam Prabawa Semara
Ratih, untuk menciptakan dunia ini dengan segenap prabawa-Nya.Upacara ini
sebagai wujud cinta kasih Hyang Widhi Wasa dengan segala bentuk jenis
ciptaan-Nya, yang menyebabkan manusia hidup dengan makmur dan sejahtera.Dewa
Semara Ratih (Kamajaya-Kamaratih) dipujakan dengan warna
yang serba Kuning sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Juga upacara ini
menyimpulkan bhakti disambut asih dari Hyang Widhi Wasa sebagai jiwa seluruh
alam dan sebagai sumber kehidupan di Tri Bhuana ini. Jiwa kita ini pun
adalah pinjaman dari Hyang Widhi Wasa
Upacara “Mapeselang”
ini adalah lambang bertemunya Hyang Widhi Wasa dengan umat manusia, melimpahkan
karunia-Nya berupa cinta kasih.Cinta kasih Hyang Widhi Wasa kepada umat-Nya
telah terbukti dalam bentuk Pencipta dunia beserta isinya, dengan
kekuatan-kekuatan sucinya mengatur dunia ini. Beliau menciptakan : gunung,
laut, danau, hutan, sawah, ladang, matahari, segala materi yang berharga serta
semuanya merupakan kekuatan kehidupan manusia. Inilah bentuk cinta kasih Tuhan
untuk umat manusia.
Dalam upacara “Mapeselang”
Ida Sang Hyang Widhi diwujudkan dalam wujud Purusa Predana sebagai Dewa
Semara Ratih, lambang dewa Cinta kasih.
Upacara Nganyarin
(Penganyar)
Upacara Nganyarin
adalah persembahan setiap hari (penyabran) selama Ida
Bhatara-Bhatari nyejer.Persembahan bhakti penganyar merupakan
persembahan yang baru (anyar).
Upacara Ngeremekin
Ngeremekin berarti
menghancurkan. Upacara ngeremekin berarti menghancurkan
sisa-sisa upacara, berupa sampah (lulu), terutama sisa persembahan Tawur
Agung. Biasanya dilaksanakan pada hari ketiga.Selain kegiatan itu, juga
ada persembahan bhakti pengeremek selaku upacara atur piuning
bahwa rangkaian upacara pokok telah berakhir.
Upacara Nyenuk
Upacara Mendem Bagia Pula
Kerthi diakhiri dengan upacaraBhatara Masineb setelah itu
diadakan upacara Nyenuk, yang berarti datang melihat.Upacara ini
merupakan rangkaian akhir persembahan dan pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa
dalam manifestasi-Nya yang tuwur dalam persembahan dan pemujaan itu.
Upacara Nyegara
Gunung (Meajar-ajar)
Upacara Nyegara Gunung
disampaikan kepada Segara dan Gunung Yasa Lingga Yoni.Gunung
dalam konsep filsafat Siwa sebagai Lingga Acala (Lingga yang
diam).Sedangkan Laut adalah Yasa Yoni.Gunung dan laut merupakan sumber
kehidupan dan kemakmuran sehingga umat manusia dapat memenuhi kebutuhan untuk
mempersembahkan Yadnya, dan untuk kehidupan manusia itu sendiri.
Upacara Rsi Bhojana (Rsi
Yadnya / Rsi Rna)
Upacara ini merupakan ucapan
terimakasih kepada semua pendeta yang telah memimpin upacara, misalnya upacara Dewa
Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya.Bentuknya
bermacam-macam, misalnya makanan, pakaian, perlengkapan sehari-hari, seperti
payung lampu dan lain-lainnya.
D. PERIHAL BHUTA YADNYA
TAWUR AGUNG
Pustaka Bhagawadgita, III. 10.
Menyatakan :
Sahayajnah prajah srstva, puro’vaca
prajapatih, anena prasavisyadhvam, esa vo’stvistakamandhuk
Pada zaman dahulu Hyang Widhi
(Prajapati) menciptakan Jagat Raya ini atas dasar Yadnya yang bersabda “Wahai
umat manusia, dengan yadnya ini engkau berkembang biak dan jadikanlah Bhumi ini
sebagai Sapi Perahan.
Dari kutipan di atas dapat
diketahui bahwa Hyang Widhi telah berbuat atau memberi sesuatu melalui daya
cipta-Nya dengan cara menciptakan manusia agar manusia berkembang biak. Lebih
lanjut Hyang Widhi menciptakan seperangkat fasilitas bagi kehidupan dan
kebahagiaan manusia berupa alam sekitarnya beserta segala isinya seperti bumi,
benda-benda dan makhluk-makhluk selain manusia.Semua ini dinyatakan sebagai
sumber kehidupan yang dalam Weda disimbolkan sebagai “Sapi Perahan”.Jadi
Hyang Widhi telah menciptakan manusia dengan segala fasilitasnya sebagai
peluang untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun
kebahagiaan sorgawi.
Pokok pikiran ini mendasari
ajaran Rna (Hutang) dalam agama Hindu. Hutang, dalam
hubungan dengan Hyang Widhi disebut Dewa Rna (hutang kepada Hyang
Widhi), merupakan hutang yang terkait dengan kelahiran manusia dan kebahagiaan
lahir bathin. Manusia harus membayar hutang (beryadnya) kepada Hyang Widhi atas
pemberian Hyang Widhi dalam bentuk segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya.
Dalam hubungannya dengan ini
Bhagawadgita, IX.22 memberi penjelasan sebagai berikut :
Mereka yang memuja Aku
sendiri, merenungkan Aku senantiasa, kepada mereka Aku bawakan apa yang mereka
perlukan dan Aku lindungi apa yang mereka miliki.
Kutipan sloka di atas menegaskan
bahwa bila manusia melaksanakan sesuatu (yadnya) kepada Hyang Widhi
maka Hyang Widhi akan memberikan segala apa yang diinginkan oleh manusia dan
sekaligus melindungi apa yang dimilikinya. Disinilah tampak hubungan timbal
balik dalam bentuk “take – and –give” antara Hyang Widhi dengan
umat-Nya (menyatunya lingga dan yoni).
Kedua belah pihak saling
bertukar yadnya.Di satu pihak, Hyang Widhi beryadnya dengan menciptakan manusia
beserta segala fasilitas serta perlengkapan kehidupan dalam bentuk alam sekitar
dan isinya yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan bagi pemenuhan segala
keperluan hidupnya. Sedangkan di pihak lain, manusia beryadnya sebagai upaya
untuk membayar hutang kepada Hyang Widhi dan sekaligus untuk mengungkapkan rasa
syukur kepada Hyang Widhi.
Hubungan timbal-balik ini bisa
dipahami sebagai bentuk refleksi (cerminan) keselarasan hubungan antara manusia
dan Hyang Widhi.Hubungan dengan corak khas yang mendatangkan kesejahteraan dan
kebahagiaan lahir bathin bagi individu-individu yang bersangkutan.
Uraian diatas memberi informasi
bahwa umat Hindu percaya akan Hyang Widhi yang telah menciptakan (Utpatti),
dan memelihara (Stithi) alam jagat raya beserta segala isinya termasuk
manusia itu sendiri. Serta percaya juga bahwa Hyang Widhi akan melebur
mengembalikan keasal-Nya (Pralina) semua ciptaan-Nya. Namun, Hyang
Widhi tidak menghendaki mutu ke-sraddha-an (keimanan) dan rasa Bhakti
umat-Nya hanya karena mereka “Percaya” akan adanya Hyang Widhi yang
memiliki tiga kekuatan utama (Utpatti, Stithi, Pralina). Melainkan,
Hyang Widhi menghendaki agar umat-Nya bekerja secara dinamis terkendali
(berkarma) melalui empat jalan utama, yaitu Jnana Yoga, Bhakti Yoga, Karma Yoga
dan Raja Yoga. Hanya dengan cara itulah, manusia akan mencapai tujuan dan
hakekat hidup sesuai dengan yang digariskan oleh Hyang Widhi.
Hyang Widhi juga menciptakan
materi dan makhluk yang tidak dapat dilihat yang dinamai “Bhuta”.Bhuta
yang berjumlah lima merupakan unsur pokok pembentukan alam, yaitu : Tanah, Air,
Udara (Angin), Api dan Ruang (Perthiwi, Apah, Bayu, Teja dan Akasa).
Yang disebut Panca Maha Bhuta.Panca Maha Bhuta tersebut
memiliki dua sifat yang antagonistis, yaitu : yang positif (Daiwi Sampat)
dan yang negatif (Asuri Sampat). Sifat positif menguntungkan dan
mendukung peran kehidupan manusia kearah kesejahteraan dan kebahagiaan yang
lebih baik.Dalam Weda diutarakan bahwa Bumi (Alam sekitar) merupakan sumber
kehidupan (Sapi Perahan) bagi kehidupan manusia yang harus
dimanfaatkan dan disyukuri oleh manusia.Sedangkan sifat negatif yang dimiliki
oleh Panca Maha Bhuta adalah sifat-sifat yang merugikan, menghambat,
dan mengganggu kehidupan manusia.Munculnya sifat negatif sebagai pengganggu
sekaligus sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup manusia dari Panca Maha
Bhuta karena ulah perilaku manusia sendiri yang merusak kelestarian alam
sekitarnya. Merusak hutan mengakibatkan banjir atau air bah, yang mengakibatkan
sifat negatif air (Apah) muncul dan mengancam kehidupan manusia.
Seperti tanah (Perthiwi) beserta isinya rusak dilanda banjir, terjadi
polusi udara (Bayu) dan Ruang (Akasa) dan sebagainya. Sifat
negatif Panca Maha Bhuta muncul dihadapan manusia karena hukum alam
(Kehendak Hyang Widhi ), misalnya : Angin ribut atau topan (Bayu)
mengakibatkan air laut pasang dan bergelombang, hujan lebat dan banjir (Apah).
Kondisi demikian ini mengakibatkan rusaknya tanah pemukiman dan tanah pertanian
(Perthiwi), Kilat menyambar dan kemungkinan terjadi kebakaran (Teja).
Dengan perkataan lain, sifat-sifat negatif dari Panca Maha Bhuta akan
menjadi kenyataan dalam kehidupan manusia karena dua faktor utama yaitu :
- a. Karena ulah/prilaku manusia yang tidak perduli terhadap kelestarian alam.
- b. Karena kehendak Hyang Widhi atau Hukum Alam.
Berdasarkan pemahaman tersebut
umat Hindu melaksanakan Kurban Suci (Yadnya) kepada alam sekitarnya yang
disebut “Bhuta Yadnya”.
Bhuta Yadnya memiliki makna :
(a) Sebagai
pernyataan syukur atas karunia Hyang Widhi yang telah menciptakan alam semesta
sebagai sumber kehidupan.
(b) Sebagai upaya
untuk menjaga dan memelihara kelestarian alam sekitarnya agar tetap menjadi
sumber kehidupan (dalam Weda disimbolkan sebagai “Sapi Perahan”).
(c) Sebagai
upaya mencegah pengaruh negatif atau buruk atau gangguan Bhuta Kala
terhadap aktifitas kehidupan manusia.
Oleh karena itu setiap akan
melaksanakan yadnya, selalu lebih dahulu mempersembahkan “Caru”, yaitu
sesajen untuk Bhuta Kala. Persembahan ini dimaksudkan agar Bhuta
Kala tidak mengganggu jalannya yadnya.Dalam pelaksanaan, “Caru”
sering kali lebih besar biayanya ketimbang sesajen bagi para Dewa.
Namun, tanpa kelima unsur utama
tersebut (Panca Maha Bhuta), manusia tidak dapat hidup.Demikianlah makna Bhuta
Yadnya yang hendaknya dilaksanakan umat Hindu.
Di satu sisi, Bhuta Yadnya
merupakan upaya manusia untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya
memperkecil sifat negatif (Asuri Sampat) unsur utama alam demi
kepentingan manusia. Di sisi lain Bhuta Yadnya mempunyai makna sebagai ucapan
rasa syukur atas berkat dan karunia Hyang Widhi yang telah menciptakan alam
sebagai sumber kehidupan manusia dengan sifat positif (Daiwi Sampat).
Dalam hubungan ini, Hyang Widhi menyatakan bahwa agar Lima Unsur Utama
alam semesta itu menjadi sumber-sumber kebahagiaan, maka manusia wajib
melaksanakan Kurban Suci, yaitu Bhuta Yadnya.
Bhuta Yadnya pada dasarnya
menjelaskan bahwa umat Hindu, di satu pihak tidak takluk kepada alam sekitar,
dan dipihak lain tidak bermaksud untuk menaklukkannya. Yang diinginkan adalah
hidup berdampingan secara damai selaras dan saling mendukung. Dengan Bhuta
Yadnya, umat Hindu yakin bahwa Bhuta dapat dipengaruhi agar berperilaku baik
dan ditentramkan sehingga tidak menggunakan sifat-sifat negatifnya untuk
menyusahkan manusia.
Kelima unsur utama dari alam
yang menjadi lingkungan fisik kehidupan manusia berpengaruh terhadap
pembentukan sikap dan prilaku manusia di dalam kehidupannya.Sebaliknya manusia
sendiri sangat berpengaruh terhadap keberadaan lingkungan hidupnya.Jadi ada
hubungan timbal-balik antara manusia dengan alam sekitarnya. Ini berarti,
menurut pandangan Hindu, manusia dan alam sekitarnya (sebagai lingkungan hidup)
memiliki hubungan erat satu sama lain saling pengaruh mempengaruhi satu sama
lain. Inilah penerapan Tri Hita Karana.
Apabila dicermati Bhuta Yadnya
serta semua sarana upakara berasal dari Panca Maha Bhuta. Panca Maha
Bhuta terdiri dari lima unsur yaitu :
- Perthiwi, tempat tumbuhnya segala macam tumbuh-tumbuhan. Dari sinilah bahan-bahan dimaksud diambil apakah akar, batang, daun, bunga, buah sesuai keperluannya.
- Apah, adalah unsur air, kemudian berkembang menjadi zat cair, untuk dipergunakan dalam upakara; darah, alkohol (tuak, arak, brem), tirtha dengan segala macam jenis dan sampai amertha.
- Wayu berarti hawa, angin dan tenaga. Pada waktu pranayama, natab, menghaturkan (mengayabkan) banten, melambaikan tangan di utara.
- Teja berarti sinar, cahaya, unsur apiatau agni. Kemudian dari sana berkembang menjadi : Api, Dupa, Api Dhipa atau Pedamaran, Api Pasepan (Pengasepan), Api Sambuk (serabut kelapa), Takep, Api Obor, Prakpak, Sundih (Api daripada daun kelapa kering), Homa Agni, dengan perkembangan selanjutnya.
- Akasa, berarti ether. Dalam hubungannya dengan sarana upakara; Suara, Mantra, Doa, Stuti, Stawa dengan perkembangan lanjut.
Dasar Pemakaian Korban
Kerbau Dalam Bhuta Yadnya
Yang pokok dan sangat prinsip
mengapa selalu digunakan kerbau sebagai dasar Tawur maupun Tawur Agung, adalah
ajaran filsafat Tantra Vamachara.Ajaran Tantra bercorak Siwaistis
maupun Bhuddhistis, terutama yang dikemukakan dalam Siwa Purana adalah
merupakan upacara pemujaan SHAKTI.Kalau dianalogkan dengan
pelaksanaan pemujaan dan persembahan Tawur atau Tawur Agung, berdasarkan sumber
konsep ajaran Tattwa Lontar Siwagama di Bali, pemujaan atau persembahan Tawur
atau Tawur Agung ini adalah agar unsur-unsur Panca Maha Bhuta seperti
: Apah, Perthiwi, Bayu, Teja dan Akasa dan unsur-unsur Sad
Kerthi, (Gunung, Laut, Danau, Sungai, Bumi dan Akasa), memiliki kekuatan (Shakti).
Kalau Panca Maha Bhuta telah memiliki Shakti yang Sad Kerthi (Enam
Kekuatan Positif), semua makhluk hidup akan menikmati hidup dan kehidupan yang
damai, sejahtera, bahagia (rahayu). Sad Kerthi adalah enam
upacara yaitu :
(1). Wana
Kerti, mapahayu Hutan, sebagai sumber mata air dan pembersih udara /
atmosfir.
(2). Pitra
Kerti, mapahayu bhumi agar tidak lama dikotori atau dicemari oleh
jenasah dan mapahayu roh-roh para leluhur yang telah meninggal,
(3). Samudra
Kerti, mapahayu Lautan,
(4). Danu
Kerti, mapahayu Danau,
(5) Jagad
Kerti, mapahayu jagad atau bhumi,
(6). Jana
Kerti, mapahayu Manusia dan Masyarakat.
Dalam Siwa
Purana, Markandhya Purana (sumber dari Maha Purana) dikemukakan, bahwa Asura
Mahisa yang memiliki kesaktian maha hebat, terus mengganggu dengan
kehebatannya. Bukan hanya dunia ini saja yang rusak dan dihancurkannya,
melainkan Siwa Loka dan Wisnu Loka.Juga digempur dan
dihancurkan, termasuk Sorga-sorga Dewata Nawa Sanga semuanya tidak
luput dari gempuran dan pengrusakan Asura Mahisa.Menanggapi situasi
dan kenyataan seperti itu, Dewata Nawa Sanga menghadap Dewa Siwa di
Siwa Loka.
Dalam paruman
para Dewa itu, Dewa Siwa dan Dewa Wisnu menugaskan para Dewa untuk mengalahkan Asura
Mahisa.Untuk itu mereka semua agar memusatkan shaktinya bersama-sama
termasuk mengumpulkan senjata masing-masing yang memiliki kekuatan (Shakti).
Para Dewata
Nawa Sanga pun mengikuti petunjuk Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, dan segera
mengumpulkan senjata masing-masing ditaruh di suatu tempat.Mereka bersama-sama
pula melakukan yoga semadi. Dari tumpukan senjata para dewa itu keluarlah nyala
api yang besar dan terang benderang. Dari nyala api keluarlah Candika Dewi
atau Dewi Durga dalam wujud Pamurtian yang hebat, bertangan sepuluh.
Masing-masing
memegang senjata-senjata Dewata Nawa Sanga itu yakni : Cakra
senjata Wisnu, Trisula senjata Dewa Sambu (Swayambu), Vajra (bajra)
senjata Dewa Iswara, Dupa senjata Dewa Maheswara, Danda (Gada) senjata
Dewa Brahma, Moksala senjata Dewa Ludra, Naga Pasa senjata Dewa Mahadewa dan
Angkus Senjata Dewa Sangkara. Tambahan dua senjata lagi, menurut buku Development
of Hindu Icography, adalah Tameng dan Pedang Dewata.
Kemudian Dewi Durga dengan
wahana Singa, pergi menghadapi Asura Mahisa.Pertempuran hebat terjadi.Tidak
dalam waktu yang lama Dewi Durga mengalahkan Asura Mahisa.Tatkala Dewi Durga
sebagai Shakti Siwa hendak memenggal leher Asura Mahisa dengan pedang
Dewatanya, Asura Mahisa berubah wujud menjadi seekor kerbau.Maka leher kerbau
lalu dipenggal dengan pedang dewata, sehingga terpisah dari badannya.
Kepala kerbau
itu lalu dipendam di sebelah utara tegal Kurukshetra oleh Dewi Durga. Sejak
mengalahkan Asura Mahisa itu, Dewi Durga juga dinamai Durga Mahisa
Suramardhini, yang berarti penakluk atau pembunuh Asura Mahisa. Setelah
menanam kepala kerbau di bagian utama tegal Kurukshetra, Dewi Durga segera
memperbaiki sorga dan dunia yang telah rusak karena gempuran Asura Mahisa.Sorga
dan Dunia pun menjadi pulih kembali, dengan kestabilan, keseimbangan dan
keharmonisan seperti semula.
Apa yang dapat
di simpulkan dari ajaran Pemujaan Shakti atau ajaran filsafat Tantra
Vamachara, memang untuk merehabilitir kerusakan dan kehancuran
dunia ini, untuk mengharmoniskan, menyelaraskan dan menyeimbangkan sorga dan
dunia ini, harus menggunakan dasar Kepala Kerbau. Kemudian konsep ajaran
filsafat pemujaan shakti dalam Tantra Vamachara ini, dalam
pengejawantahan ajaran Kalpa, (tata Upacara) diwujudkan dalam upacara
dan upakara Tawur atau Tawur Agung yang memakai korban kerbau. Di luar Bali pun
upacara menanam kepala kerbau masih dilakukan sebelum membangun sesuatu yang
besar.
Demikianlah
sumber ajaran filsafat yang menjadi latar belakang mengapa justru kerbau
digunakan sebagai dasar Tawur atau Tawur Agung.Tujuannya adalah untuk merehabilitir
(menyelaraskan, mengharmoniskan dan menyeimbangkan), Sorga dan Dunia ini, yang
secara wujud fisik adalah unsur-unsur Panca Maha Bhuta.
Biasanya yang
dikorbankan sebanyak tiga ekor kerbau.Pada tempat Tawur Agung Pedanan
korban suci adalah seekor kerbau.
Di dalam pura,korban sucinya dua ekor kerbau, yaitu : seekor dihadapan pelinggih dan seekor lagi sebagai Titi Mamas di Paselang. Kedua kerbau ini bukan kerbau biasa tetapi kerbau yang khusus yaitu kerbau Silang. Anak-anak kerbau hitam dengan kerbau putih (Misa) yang masing-masing bernama kerbau Yos Brana dan kerbau Anggrek Bulan yang harganya pun khusus.
Di dalam pura,korban sucinya dua ekor kerbau, yaitu : seekor dihadapan pelinggih dan seekor lagi sebagai Titi Mamas di Paselang. Kedua kerbau ini bukan kerbau biasa tetapi kerbau yang khusus yaitu kerbau Silang. Anak-anak kerbau hitam dengan kerbau putih (Misa) yang masing-masing bernama kerbau Yos Brana dan kerbau Anggrek Bulan yang harganya pun khusus.
Di samping itu
ada juga uraian di pustaka Garuda Purana mengenai ketinggian makna
pengorbanan suci dengan sarana kerbau di dalam upacara Tawur. Di sana diuraikan
tentang Raja Detya Bali yang dengan tapanya yang berat mendapatkan
anugerah yang sangat hebat sehingga mampu mengalahkan dewa-dewa di sorga. Hal
ini merisaukan Dewa Indra sebagai raja para Dewa itu.Oleh karena itu Dewa Indra
menjelma ke bumi dalam wujud sebagai Pendeta peminta-minta.Pendeta ini
mengajukan permintaannya dan Detya Bali mengabulkan segala
permintaannya walaupun belum disebut permintaan itu. Setelah ditanya apa yang
diminta itu, Dewa Indra dalam wujud Pendeta itu mengatakan bahwa ia akan
mengadakan upacara korban suci dengan sarana kerbau yang diwujudkan dari badan
Raja yang bernama Detya Bali. Mendengar permintaan itu, sedangkan Raja
Detya sudah berjanji akan memenuhi segala permintaan dan janji seorang
raja tidak boleh diingkari, maka Raja Detya Bali bersedia menjelmakan dirinya
menjadi kerbau. Dewa Indra dalam wujud Pendeta itu mengadakan upacara dengan
sarana kerbau penjelmaan Raja Detya Bali.
Karena
pengorbanan ini adalah pengorbanan suci dan dikorbankan dengan hati tulus dan
suci maka Detya Bali menjadi suci juga. Setelah menjadi korban suci itu unsur-unsur
kerbau itu menjadi bermacam-macam permata yang sangat tinggi nilainya, antara
lain :
- Darahnya menjadi permata Rubi, yang dipilih oleh planet Matahari untuk mempengaruhi manusia.
- Perutnya menjadi permata Jambrud, yang dipilih oleh planet Marcuri dengan tujuan sama.
- Lemaknya menjadi Mutiara, yang dipilih oleh planet Bulan dengan tujuan yang sama.
- Jantungnya menjadi Mutiara Karang, yang dipilih oleh planet Mars dengan tujuan yang sama,
- Tangan dan kakinya menjadi Intan yang dipilih oleh planet Venus dengan tujuan yang sama.
- Kulitnya menjadi permata Safir Kuning, yang dipilih oleh planet Jupiter dengan tujuan yang sama.
- Matanya menjadi permata Safir Biru, yang dipilih oleh planet Saturnus, dengan tujuan yang sama.
- Air Maninya menjadi permata Safir Merah Tua, yang dipilih oleh planet Rahu dengan tujuan yang sama.
- Nafasnya menjadi permata Mata Kucing dipilih oleh planet Kytu dengan tujuan yang sama.
Demikianlah
makna yang tinggi pemakaian binatang kerbau dalam upacara Tawur sebagai
kekayaan di dunia dapat bertambah olehnya yang tentu meningkatkan kesejahteraan
umat manusia sendiri mengetahui pengaruh korban itu terhadap dirinya sendiri
sesuai dengan unsur-unsur dari wujud kerbau itu yang dipilih oleh planet-planet
di angkasa.
Kualitas Yadnya
Dalam
melaksanakan yadnya seluruh Keluarga Besar Grhya Jero Gede Sanur dan para
bhakta yang akan mengikuti seluruh rangkaian upacara Karya Agung Memungkah dan
Ngenteg Linggih diharapkan sesuai dengan Kitab suci Bhagavadgita XVII, 11, 12
dan 13 menyebutkan, ada tiga tingkatan yadnya dilihat dari segi kualitasnya.
Tiga yadnya itu yakni :
- Tamasika Yadnya yaitu yadnya yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya, tanpa mantra, tanpa ada kidung suci, tanpa ada daksina, tanpa didasari oleh sraddha dan bhakti (kepercayaan).
- Rajasika Yadnya yaitu yadnya yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dan dilakukan untuk pamer saja (nasmita).
- Sattvika Yadnya yaitu yadnya kebalikan dari Tamasika Yadnya dan Rajasika Yadnya bila didasarkan atas penjelasan Kitab Suci Bhagavadgita tersebut diatas yaitu berdasarkan atas Sraddha/ keyakinan penuh berdasarkan sastra-sastra agama, Lascarya yaitu penuh keikhlasan tanpa pamerih apapun, Sastra (hukum) dimana yadnya dilaksanakan sesuai dengan petunjuk sastra / hukum agama dari Sruti – Smrti – Sila – Acara – Atmanastuti, Daksina yaitu bentuk upacara dan benda yang dihaturkan kepada pemimpin upacara (Sang Yajamana, Sang Trini, Sang Manggaleng Yadnya), Mantra dan Gita yaitu pada saat upacara haruslah ada mantra dan gita (manca gita), Annaswewa yaitu memberikan jamuan/pasuguh kepada para tamu upacara sebagai atitiyadnya sesuai dengan kemampuan, Nasmita artinya dalam melaksanakan yadnya bukanlah bertujuan untuk memamerkan kemampuan, kemewahan dengan maksud masyarakat menjadi kagum.
Demikianlah,
bahwa yadnya dalam agama Hindu merupakan wujud kasih sayang yang menjadi roh
dan jiwa perkembangan budaya adiluhung bagi kemajuan umat manusia dengan
seluruh aspek sosialnya, antara lain kepariwisataan di Pulau Bali ini.
3. Tata Upacāra
Membangun Pura
a. Upacāra
Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan
sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah
status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang.Jenis
Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi
Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun
pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun
sepelebahan pura baru.
b. Upacāra
Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara
pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing
mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai
dengan aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.
c. Upacāra
Nasarin.Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang
didahului dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan
Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya.Pada Upacāra ini ditanam
sebuah bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya
Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara, dibukus dengan kain merah
dan diisi kuangen.Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara Ang-Ung-
Mang.Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen.Dan sebuah klungah
kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih
dan diisi kuangen.
d. Upacāra
Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua
pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/
Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat
dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal
pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan berupa Panyudha Bumi.
Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan
kedudukan dan fungsi Pura masing-masing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan
petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah
berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih
sempurna.
e. Upacāra
Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan
dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi
yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan
Pelinggih yang lainnya tidak sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan
Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun juga ada yang
berbeda.
Tata cara membuat
dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti
isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di
Besakih.
Adapun
cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11,
tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi
manista, madya, utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar
salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa,
maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang mas, slaka
tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga
miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika
wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah rerapetan sane
mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg.
Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi
musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah
jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika
kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista
madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali.
Malih
pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah
prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas,
slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian
mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas
mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang catur warna.
Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka
merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi
mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi
mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama,
sluwir-luwir padagingan ika, kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan
mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi
pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih
rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka kojarnya sami
mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah
korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"
Untuk
cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah
mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian
masyarakat umat Hindu yang ada di Bali.
f. Ngenteg
Linggih.Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir
dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg
berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Jadi
Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala
manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali
setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura
yang bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu
secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Upacāra
ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten
suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan
lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh)
butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di
Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi lagi dengan banten suci
sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya (menurut
petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida
beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras
pagenayan bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina
berisi benang merah. Pada Sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong
yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong
selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing-masing ruangan juga
dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul
empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan
perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang
kepeng 225, benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya
berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,-
(lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut
banten paselang.
Banten
di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga
ditambah dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/
menanam pedagingan, didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam,
sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu
putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.
Pada
Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci
putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan
kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama
Pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di
natar pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek belang
kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit
hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan Upacāra
ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan persembahyangan
bersama.
Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra
dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan
petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra saat
Ngenteg Linggih
4. Upacāra
Pujawali (Odalan)
Upacāra
Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu
suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang
Widhi dan Para Dewa sekalian.
Bagi
umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang
menjadi salah satu bentuk persembahan ini sesungguhnya merupakan suatu wujud
nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi,
terutapa meyakinkan getaran-getaran nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai
manusia amat tergantung daripada-Nya.
Ungkapan
rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu
dalam melaksanakan Yadnya (korban suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti
petunjuk-petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12
- 13 berbunyi sebagai berikut :
"istam bhogam
hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana
eva sah" - Dipelihara oleh Yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan
yang kau inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan
balasan kepada-Nya adalah pencuri.
"Yajnasistasinah
santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty
atmakaranat" - Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari
Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat
yang menyediakan makan bagi kepentingan sendiri adalah makan dosanya sendiri.
Dengan
demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan,
akan berusaha berbuat segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan
untuk melaksanakan Yadnya kepada-Nya.
Namun
apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang
tulus ikhlas yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam (suci - bersih),
bukan didasarkan atas besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan
berikutnya menyatakan betapa sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan :
"Patram
puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami
prayatatmanah" - Siapapun dengan kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun,
bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar
dari hati yang suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)
Memperhatikan
beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad melaksanakan
dan mensukseskan Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala
ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian sebuah Pujawali /
Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :
a. Upacāra
Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)
1.
Setelah semua banten munggah di pelinggih
masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
2.
Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan,
Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.
3.
Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan
urut-urutan:
a.
Peasepan
b.
Toya Anyar
c.
Byakala:
a)Pengeresikan
b)Tirtha–Padma
c)Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
a)Pengeresikan
b)Tirtha–Padma
c)Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d.
Prayascitta:
a)Pengeresikan
b)Tirtha–Padma–LisSenjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
a)Pengeresikan
b)Tirtha–Padma–LisSenjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e.
Pengulapan:
a).Pengeresikan
b).Tirtha–Padma
c).BungkakBulan–Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
a).Pengeresikan
b).Tirtha–Padma
c).BungkakBulan–Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
Catatan:
Semua kegiatan a – eØ dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
Semua kegiatan a – eØ dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
1. Umat diperciki
tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah
2.Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih
2.Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih
b. Upacāra
Ngingsah (Taman Sari/ Beji)-
Bersamaan dengan
Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita memohon
Tirtha 5 (Lima) Jenis dari Taman Sari atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
c. Upacāra
Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)-
Bersamaan dengan
Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1.Daksina Taksu
(Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci
alit, Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh, dibawahnya
3. Dua tempeh sukla 2, kain putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang
kepeng 108 x 2, beras yang sudah diingsah, cili lanang-istri @ 1 buah, soda 2,
canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras
direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki-laki oleh ditanding
oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh Wanita) 5. Muspa ke hadapan
Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian
Upacāra pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang
bertengkar/berselisih faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak boros 6.
Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan Tirtha Panginih-inih
7.Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk samuhan catur, suci,
pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.
d. Upakāra
Nunas Tirtha Ke Pura Lain
1. Setelah semua
banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi
Kidung suci 2.Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,
Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan
dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b)
Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d.
Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a).
Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian SemuaØatas
Catatan: kegiatan a – e dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale
Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI),
Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu
diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul
–Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya – Bale
Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- ØPemedal Banjar- lalu
petugas kembali ke Utama Mandala
Dibutuhkan 13 orang Jika tidak
adaØpengayah
untuk prosesi ini. kegiatan nunas tirtha
ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1. Umat diperciki tirtha
Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2.
Nunas Tirtha Wangsuhpada 3. Puja parama santih 4.Petugas nunas Tirtha dibagikan
Bumbung dan Banten.
e. Upacāra
Pecaruan
1. Setelah semua
banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi
Kidung suci, tabuh lelambatan 2.Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan,
Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan
Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala:
a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih
bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak
Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e.
Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten
Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan
Tirtha dari Ida pedanda Semua kegiatan a
– e dimulai dariØCatatan: Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji-
Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai
dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut
(KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Caru, Bale untuk Nedunang - Pemedal
Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat –
Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi
ini. 4.Ø
Pandita/Pinandita mapuja ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang
Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha Pecaruan (Byakala,
Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur-Tenggara-Selatan - Barat
Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita / Pinandita Ngayabang Caru dibantu oleh
umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9.
Pralina Bhūta 10. Nyarub Caru, dengan urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru,
Sampat, Tulud, Kulkul, dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah jarum jam
(prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita
Mepuja dalam rangka Nedunang.
f. Upacāra
Nedunang di Pañca Desa
Telajakan Wastra Putih dariv
Padmasana sampai DivCandi
Bentar di atasnya berisi Canang Cari.
Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: vSegehan
Agung, Arak-Berem-Tuak. Perlengkapan
lainnya: Peasepan, Kober, Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut Penuntun
Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane, Tempat Tirtha, Banten Arepan ;vRantasan, Daksina Pralingga,
Tedung, Gong Bleganjur. Tirtha
Panedunan dari Ida Pedanda 1. SetelahvPeras, Daksina,
Segehan, Semua Uperengga di atas berada
di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi dengan kidung dan Gong
Bleganjur a. Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan
Catatan: Semua prosesi di atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari,
Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d. Tedun dari
panggungan §dengan
melewati Panggungan dengan urut-urutan dari depan: §Peasepan Banten
pemagpag§
Umbul-umbul §
Mamas §Penuntunan
Banten§ Banten Penuntun dewa § Cane§Pangiring § Daksina Pralingga § Tempat Tirtha §
Rantasan §
Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman
Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah:
Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang
g. Upacāra
Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati
1, Pangulapan,
Datengan, Canang Pangrawos, Masing-masing Daksina Pralingga; Soda Pemendak,
Pependetan dan atau bebarisan 1.Pinandita mepuja ngaturang banten datengan
2.Tarian papendetan 3.Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4. Bleganjur
sampai di depan Kori Agung
h. Banten
Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati
1, Masing-Masing
Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman menjadi
1 tempat), di bawah: Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman
Sari Untuk Mesucian
i. Upacāra
Masucian Ring Beji (Pancoran)
Suci Alit, Pejati,
Ayaban Tumpeng Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi, bedak),
Masing-Masing Daksina Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra
(kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita mulai ngaturang
banten bersamaan ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari
Padmasana samapi Anglurah dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d.
Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h. Cermin i. Masegeh Cacahan
3. Persiapan Purwa Daksina
j. Upacāra
Mapurwa Daksina
1. Pinandita
ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh Arak-Berem-Tuak. 2.
Urut-urutan Purwa §
Peasepan §Daksina: Banten§ Umbul-umbul §
Mamas §Penuntunan § Banten Penuntun dewa §pemagpag § Rantasan § Cane §Banten Pangiring
Tedung§
Daksina Pralingga §Tempat
Tirtha Catatan: • Dari Rantasan s/d
Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di
belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat • Selesai Purwa
Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh Pinandita dibantu Para
Sutra
k. Upacāra
Pujawali
1. Setelah semua
banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi
Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan,
Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih
disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten
Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a) Pengeresikan b)
Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke
pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur Kumbha
dari Pandita g. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha Semua kegiatan a – gØdari Pandita Catatan: dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon
Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten -
Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya
(RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar
Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya
–Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- Dibutuhkan 16Ølalu petugas kembali ke
Utama Mandala orang pengayah untuk
prosesi ini. 1. Pandita mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama
3.Mejaya-jaya 4.Nunas tirtha 5.Dharma Wacana 6. Puja Parama Santih
l. Upakāra
Ngayarin:
A. Pagi Hari: (pk.
09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah,
Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati, Kopi
/Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya:
masing-masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang
Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha,
Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing,
Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masing-masing: Rayunan Alit 3. Arepan
Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin dilaksanakan jika pujawali /
piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan
umat sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini
ditiadakan
m. Upacāra
Penyineban
1. Pinandita
ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang
Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa §
Peasepan §Daksina: Banten§ Umbul-umbul §
Mamas §Penuntunan § Banten Penuntun dewa §pemagpag § Rantasan § Cane §Banten Pangiring
Tedung§
Daksina Pralingga §Tempat
Tirtha Tegen-tegenan§
Salaran §
Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari,
Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha
Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita
ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha
Pralina untuk Daksina Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga
12. Puja Parama Santih 13. Meprani
n. Upacāra
Ngelemekin
1. Setelah semua
banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi
Kidung suci
2.Pinanandita
memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha
Pengulapan.
3. Semua Banten
dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian
bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis
Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan:
a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan
diayabkan ke pelinggih bagian atas Semua
kegiatan a – e dimulai dariØCatatan:
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan -
Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya
(RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar
Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya
–Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar-
lalu petugas kembali ke Utama Mandala Ø Dibutuhkan 13 orang
pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina
Lingga Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha
Prayascita, 8.Sembahyang bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha
Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten,
Panitia, Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh
o. Penutup
Demikianlah
pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat
diketengahkan pada kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan;
Mampukah umat Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta
mampukah melaksanakannya ?Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas
Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi tugas Umat Hindu
sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang.Tetapi penulis yakin,
apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang tidak
dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk
kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih
banyak kekurangannya, namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam usaha
ngastiti kerahayuan kita bersama - Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih
Om
om swastiastu salam kenal dengan saya dari tasikmalaya asal bulian singaraja bali Bali's Family
BalasHapusSaya nggak tahu kenapa ada latar belakang uang di artikel ini sampai artikelnya shsah dibaca
BalasHapus